Alkohol yang dimaksudkan disini adalah etanol atau etil alcohol yang telah lama dikenal di masyarakat. Senyawa ini memiliki sifat mendepresi fungsi sistem saraf pusat (SSP). Mekanisme kerja alkohol dengan mengganggu keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi di otak. Ini terjadi karena penghambatan atau penekanan saraf perangsangan sehingga mengakibatkan terjadinya disinhibisi, ataksia, dan sedasi. Alkohol juga berefek pada berbagai sistem organ tubuh termasuk saluran cerna, kardiovaskular, dan SSP. Perkembangan embrio dan fetus juga dipengaruhi oleh konsumsi alkohol. Konsumsi alkohol secara berlebihan dalam waktu lama akan menyebabkan berbagai kerusakan yang berhubungan dengan dosis.
Alkohol digunakan secara luas di masyarakat sebagai minuman atau dalam industri sehingga secara sengaja maupun tidak, dapat menimbulkan keracunan (intoksikasi). Di beberapa negara, alkohol sebagai minuman mudah didapatkan sehingga cenderung banyak disalahgunakan. Motivasi peminum alkohol biasanya untuk mendapatkan euphoria, melepaskan emosi serta melepaskan diri, untuk sementara waktu, dari depresi dan ansietas yang dialaminya.
Kadar alcohol di dalam darah dinyatakan dalam milligram atau gram etanol per desiliter (missal 110 mg/dL atau 0,1 g/dL). Pada orang yang minum 1-2 gelas per hari memiliki kadar 0,02 – 0,03 g/dL. Minuman yang mengandung etanol 10 – 15 gram yaitu :
- 340 mL bir
- 115 mL anggur yang non fortified
- 43 mL minuman yang fortified
- 0,51 beverage (cocktail, brew) mengandung etanol 160 gram
- 11 mL anggur mengandung 80 gram etanol
Konsumsi alkohol dalam jumlah besar pada jangka panjang menyebabkan toleransi dan ketergantungan fisik. Toleransi didefinisikan sebagai penurunan respon fisiologi atau tingkah laku pada penggunaan dosis yang sama sehingga memerlukan dosis yang lebih besar. Toleransi dapat terjadi secara akut maupun kronik. Toleransi terhadap efek intoksikasi alkohol merupakan proses kompleks yang melibatkan proses perubahan induksi enzim di dalam metabolisme dan perubahan-perubahan pada sistem saraf.
Toleransi akut dapat terjadi beberapa jam setelah minum alkohol. Toleransi akut diperlihatkan dengan mengukur kelainan tingkah laku pada kadar plasma alkohol beberapa menit dan setelah beberapa jam alkohol diberikan. Ternyata kelainan perilaku lebih besar terjadi pada saat awal alkohol diberikan. Toleransi kronik terjadi pada peminum berat alkohol yang berlangsung lama.
Ketergantungan fisik diperlihatkan dengan gejala putus obat bila konsumsi alkohol dihentikan. Gejala yang terjadi serta beratnya ketergantungan ditentukan oleh jumlah serta lamanya konsumsi. Gejala tersebut diantaranya gangguan tidur, aktivasi saraf simpatis, tremor. Pada gejala yang lebih berat dapat berupa delirium tremens yang ditandai dengan halusinasi, delirium, demam, dan takikardia yang kadang-kadang berakibat fatal. Salah satu aspek dari ketergantungan ialah keinginan yang sangat kuat/ketagihan (craving) untuk mendapatkan alkohol, yang sering dikenal sebagai ketergantungan psikis.
Peminum alkohol berat sering mengalami kecelakaan, kehilangan produktivitas, terlibat kejahatan, mendapat gangguan kesehatan hingga terjadi kematian. Peminum alkohol berat juga sering terlibat dengan penggunaan obat-obat lain termasuk hipnotik-sedatif, perangsang SSP (golongan amfetamin), dan bahkan juga narkotik. Kematian yang berhubungan dengan konsumsi alkohol pada umumnya disebabkan penyakit hati, kanker, kecelakaan dan bunuh diri.
Absorbsi oral alkohol berlangsung secara cepat di lambung dan usus halus. Kadar puncak plasma pada keadaan puasa dicapai dalam waktu 30 menit. Karena absorbsi berlangsung lebih cepat pada usus halus daripada di lambung, penundaan pengosongan lambung (misalnya dengan adanya makanan) dapat memperlambat absorbsi alkohol.
Distribusi alkohol berlangsung cepat dan tersebar merata ke seluruh jaringan dan cairan tubuh. Volume of distribution (Vd) alkohol kira-kira sama dengan total cairan tubuh (0,5 – 0,7 L/kg). Pada SSP, kadar alkohol meningkat secara cepat sebab otak menerima aliran darah yang banyak dan alkohol dapat melewati sawar darah otak. Alkohol juga dapat menembus sawar plasenta dan masuk ke dalam janin.
Metabolisme alkohol berlangsung terutama di hati dan mengikuti kinetic zero order, artinya jumlah yang dimetabolisme tetap per satuan waktu, terlepas dari tinggi rendahnya kadar. Alkohol mengalami metabolisme presistemik oleh enzim alcohol dehidrogenase (ADH) di lambung dan hati. Oksidasi alkohol menjadi asetaldehid dilakukan oleh ADH, katalase, dan sitokrom P450. Astaldehid akan diubah secara cepat menjadi asetat dan aldehid dehirogenase yang ada di sitosol dan mitokondria di hati. Asetaldehid akan menumpuk jika tidak tersedia cukup enzim ADH. Penggunaan alkohol secara kronik meningkatkan kapasitas metabolisme terhadap alkohol sendiri. Terdapat polimorfisme genetic dari ADH dan aldehid dehidrogenase, variant memperlihatkan kemampuan katabolisme alkohol yang berbeda.
Eksresi alkohol melewati paru-paru dan urin. Hanya 2-10 % yang dieksresikan dalam bentuk utuh.
Interaksi farmakokinetik yang paling sering terjadi antara alkohol dan obat lain ialah akibat induksi sistem endoplasmic reticulum sel hati oleh alkohol yang dikonsumsi secara berlebihan dan dalam jangka waktu lama sehingga alkohol memacu metabolisme obat lain. Sebaliknya, pada konsumsi akut, alkohol malah menghambat metabolisme obat lain seperti fenotiazin dan hipnotik-sedatif (membahayakan pasien yang memerlukan keterampilan dalam aktivitasnya), antidepresan trisiklik, dan asetosal (meningkatkan resiko perdarahan lambung). Interaksi secara farmakodinamik terjadi antara alkohol dengan pendepresi SSP, vasodilatator, dan hipoglikemik oral. Alkohol juga memacu aktivitas antiplatelet asetosal.
Gambaran klinis keracunan (intoksikasi) alkohol berupa mabuk, inkoordinasi otot, penglihatan kabur karena metil alcohol yang dapat membutakan, terganggunya gerak refleks, eksitasi, takikardia dan pernafasan lambat, gangguan kesadaran sampai koma. Gejala ini menonjol bila kadar alkohol di dalam darah meningkat. Kadar alkohol setinggi 80 mg % akan menyebabkan gambaran mabuk yang jelas. Pada individu yang mengkonsumsi alkohol dalam jumlah sedang yaitu konsetrasi dalam darah diatas 100 mg/dL, kontraktilitas otot jantungnya mengalami depresi sehingga mengakibatkan kelemahan otot. Pada anak-anak dapat terjadi hipoglikemia berat dan konvulsi. Kadar 300 mg% merupakan tingkat berbahaya bagi kehidupan. Kadar rata-rata alkohol darah pada kasus fatal terjadi di atas 400 mg%.
Alkohol dalam dosis besar meningkatkan efek metabolik bertingkat sehingga hati dan saluran pencernaan mengalami kerusakan. Hal ini disebabkan oleh asetaldehid yang bersifat toksik karena dapat merusak protein seperti enzim dan menghasilkan derivate protein imunogenik. Akibatnya terjadi defisiensi vitamin dan nutrisi serta gangguan saluran cerna dan fungsi hati. Efek dapat berupa terjadinya infiltrasi lemak, hepatitis, dan sirosis. Penumpukan lemak di hati merupakan gejala dini pada alkoholisme, yang terjadi akibat penghambatan siklus trikarboksilat dan oksidasi lemak yang sebagian berhubungan dengan adanya NADH berlebih yang dihasilkan enzim ADH. Perlemakan hati karena alkohol dapat berlanjut menjadi hepatitis dan selanjutnya menjadi sirosis yang berujung pada kegagalan fungsi hati dan kematian. Pecandu alkohol juga dapat menderita hipoglikemia karena nutrisi buruk dan pengosongan glikogen hati.
Adanya penurunan kadar enzim pencernaan yang bersifat ireversibel pada penggunaan alkohol secara kronis menyebabkan kegagalan absorbsi berbagai vitamin dan tiamin. Selain itu, terjadi pula perubahan bentuk vili yang menyebabkan pengguna alkohol mengalami diare kronik, kehilangan berat badan, dan kekurangan vitamin. Akibatnya menambah berat gejala neuropsikiatrik dan terjadinya ensefalopati Wernicke, psikosis Kosakoff, polyneuritis dan penyakit jantung karena beri-beri.
Minuman yang mengandung alkohol lebih dari 40 % memiliki efek toksik langsung terhadap mukosa lambung. Konsumsi alkohol meningkatkan sekresi lambung dan pankreas serta mengubah sawar mukosa yang meningkatkan risiko gastritis, perdarahan gastrointestinal akut, dan pankreatitis. Alkohol merangsang sekresi asam lambung lewat perangsangan saraf sensoris dan melepaskan gastrin serta histamine. Mukosa lambung pada peminum alkohol berat dapat rusak dan terjadi gastritis akut maupun kronik.
Alkohol juga dihubungkan dengan timbulnya gejala refluks esophagus. Alkohol sering merupakan penyebab utama atau salah satu faktor terjadinya disfungsi esophagus. Penggunaan alkohol kronis meningkatkan risiko kanker pada mulut, faring, laring, esophagus, dan hati. Alkohol sendiri tidak bersifat karsinogen namun minuman alkohol dapat mengandung zat-zat bersifat karsinogen yang terbentuk saat fermentasi atau proses pembuatannya serta dapat mengubah fungsi hati yang meningkatkan aktivitas zat karsinogen potensial.
Pecandu alkohol kronis juga beresiko tinggi kehilangan darah dan protein plasma selama minum alkohol sehingga menimbulkan anemia dan kekurangan protein. Selain anemia karena defisiensi asam folat akibat penggunaan alkohol, anemia defisiensi zat besi juga dapat terjadi karena perdarahan lambung. Kelainan trombosit dan leukosit dan hiperlipidemia juga dialami akibat konsumsi alkohol yang kronis.
Susunan saraf pusat sangat dipengaruhi pada konsumsi alkohol akut. Konsumsi alkohol pada kadar tinggi berefek sedasi dan antiansietas serta menyebabkan bicara tak jelas, ataksia, tak dapat menentukan keputusan, kemampuan menyatakan pendapat terganggu, tingkah laku tidak terkontrol dan perilaku disinhibisi yang dapat menimbukan kesan adanya efek stimulasi SSP dari alkohol. Konsumsi alkohol secara kronis dapat menyebabkan gangguan mental dan neurologis yang berat berupa hilangnya ingatan, gangguan tidur dan psikis.
Konsumsi alkohol sering menyebabkan kelemahan ingatan jangka pendek. Bila dikonsumsi dalam jumlah besar dan waktu lama (biasanya bertahun-tahun) dapat menyebabkan gangguan neurologis berupa kelemahan fungsi intelektual dan motorik, emosi labil, penurunan ketajaman, persepsi dan amnesia. Proses mental yang dipengaruhi paling awal ialah yang berhubungan dengan pengalaman dan latihan, yang berperan dalam proses terjadinya kebijaksanaan dan pengendalian diri. Rasa kepercayaan diri meningkat, kepribadian menjadi ekspansif dan bersemangat, perasaan tidak terkontrol dan letupan emosi menjadi nyata. Daya ingat, konsentrasi, dan daya mawas diri menjadi tumpul lalu hilang. Kecemasan yang tinggi terjadi pada awal berhenti minum dan terus terjadi sampai berbulan-bulan setelah berhenti minum.
Perubahan psikis ini disertai gangguan sensorik dan motorik. Kerusakan saraf perifer simetris yang merata merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada pecandu alkohol kronis. Pasien akan menunjukkan gejala mati rasa di kedua kaki, gatal dan kesemutan. Selain itu penderita juga akan mengalami sindrom Wernicke-Korsakoff yang ditandai dengan kelumpuhan otot-otot mata eksternal, ataksia, dan perubahan aktivitas mental berupa amnesia dan kelemahan fungsi ingatan. Panjangnya keadaan kebingungan pada penyakit Korsakoff dan relative tidak ada agitasi yang dapat terjadi selama masa putus obat dapat menjadi tanda gejala yang membedakan dengan keadaan kebingungan akut yang disebabkan oleh intoksikasi alkohol akut, yang memiliki tambahan gejala berupa kelainan persepsi dan tingkah laku.
Alkohol dapat mengurangi waktu masuk/jatuh tidur dan tidur REM tetapi meningkatkan waktu tidur non-REM. Dalam tiga hari penggunaan, efek memudahkan masuk/jatuh tidur hilang, disusul rebound bila konsumsi alkohol dihentikan. Alkohol juga dapat mengurangi ketajaman penglihatan, penglihatan menjadi kabur tanpa rasa sakit pada kedua mata yang timbul beberapa minggu setelah mengkonsumsi alkohol dalam jumlah besar. Dapat pula terjadi degenerasi nervus optikus.
Pada peminum berat untuk waktu lama dapat terjadi kardiomiopati, aritmia jantung, peningkatan tekanan darah, dan gangguan keseimbangan elektrolit. Efek langsung alkohol terhadap sirkulasi sangat kecil. Depresi kardiovaskular yang terjadi pada keracunan akut alkohol yang berat disebabkan oleh faktor sentral dan depresi napas. Alkohol dosis sedang menimbulkan vasodilatasi terutama di pembuluh darah kulit dan menimbulkan rasa hangat dan kulit merah. Vasodilatasi ini terjadi karena hambatan vasomotor secara sentral. Penggunaan alkohol berlebih jangka panjang menyebabkan kerusakan jantung menetap dan merupakan penyebab utama kardiomiopati. Pasien yang mengalami gejala putus alkohol biasanya disertai gejala aritmia berat, serangan jantung dan sinkop yang berujung pada kematian mendadak.
Adanya ganguan keseimbangan mineral seperti defisiensi seng dapat menyebabkan kemandulan. Meskipun alkohol dapat meningkatkan gairah seksual namun alkohol justru menurunkan kemampuan ereksi. Bahkan alkohol dapat menyebabkan atrofi testis, penurunan volume ejakulasi dan jumlah sperma
Faktor genetik berperan dalam menentukan penggunaan alKohol pada manusia dan komplikasi medisnya. Frekuensi pecandu alKohol dengan orangtua biologis pecandu alKohol akan meningkat 4 kali lebih besar dibandingkan dengan orangtua bukan pecandu.
0 comments to “Dampak Negatif Alkoholisme terhadap Kesehatan”
Posting Komentar