Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa hanya 2 dari 100 orang yang berhasil dengan dietnya, artinya hanya 2% pelaku diet yang berhasil mempertahankan berat badan hasil berdiet. Mengapa begitu ?

Lapar dan nafsu makan adalah proses alami dalam tubuh. Nafsu makan merupakan naluri manusia paling dasar dan sangat dibutuhkan untuk bertahan hidup. Sengaja melaparkan diri justru akan membuat tubuh bereaksi lebih keras menuntut makanan akibatnya nafsu makan makin besar dan hancurlah semua usaha untuk mengurangi berat badan.

Yang terjadi ketika perut kosong karena terlambat makan, maka tubuh akan mendorong pencernaan untuk memproduksi hormon ghrelin. Bersamaan dengan pelepasan hormon ini, gula darah akan turun dan insulin akan mengurangi produksinya. Insulin yang menurun akan mengirim sinyal ke otak untuk mencari makan, akibatnya nafsu makan pun mendorong untuk mengisi perut. Setelah kenyang, gula darah akan naik, produksi insulin meningkat untuk mengimbanginya, sementara jaringan lemak akan mengeluarkan hormon leptin yang membuat tubuh merasa nyaman/kenyang.

Lapar fisiologis atau lapar fisik ini diciptakan oleh jaringan sistem metabolisme yang memonitor dan menjaga status energi tubuh agar tetap seimbang. Dalam kondisi sehari-hari dapat dirasakan saat perut bergemuruh. Selain lapar fisik, ada juga lapar secara psikologis. Kondisi ini disebut brain hunger atau lapar pikiran yang berupa keinginan untuk makan sebagai kesenangan. Lapar pikiran ini muncul saat nafsu makan timbul walaupun tak ada kebutuhan metabolisme.

Contohnya adalah saat seseorang merasa lapar lagi dan melahap sepiring siomai yang mengepul meski baru sarapan seporsi nasi goreng. Juga saat bau ikan asin yang sedang digoreng tetangga membuat nafsu makan seseorang tergugah setelah makan siang. Demikian pula ketika seseorang terangsang oleh penampakan cake cokelat bahkan ingatan yang kuat terhadap suatu rasa terkadang juga merangsang timbulnya rasa lapar. Dan bahayanya lapar pikiran ini, Anda akan tetap merasa lapar sampai keinginan itu terpenuhi dan kondisi ini harus diwaspadai karena dapat tak terkendali.

Lapar fisik saja tak akan membuat seseorang makan berlebihan namun manusia juga mempunyai kebutuhan untuk merasa kenyang atau terpuaskan secara psikologis. Selama makan untuk memenuhi kepuasan psikologis tidak dijadikan prioritas maka seseorang tidak akan makan berlebihan melewati kebutuhan fisik.

Pada manusia ada suatu rasa craving atau ketagihan dan binge-ing atau foya-foya makan. Sistem saraf manusia disusun untuk memberi motivasi dan ganjaran saat makan dengan membentuk sensasi dan impuls : Saya suka itu – saya mau itu – itu menyenangkan – saya ingin lagi.

Dalam otak, lapar pikiran seperti orgasme. Saat timbul rangsangan untuk mengikuti dorongan tubuh “Saya suka itu, saya mau itu”, sistem limbik dalam otak akan mengeluarkan hormon striatum yang memberi motivasi dan neurotransmitter dopamine yang mendorong orang mencari kesenangan dan membuat seseorang merasa puas. Penelitian dengan pemindaian otak memperlihatkan bahwa hanya melihat dan mencium ayam barbecue, pizza, atau hamburger telah mencetuskan produksi dopamine dalam striatum. Besar kecilnya dopamine tergantung pada besar kecilnya keinginan seseorang. Jika tak terkendali, yang terjadi adalah sejenis kecanduan. Seperti narkoba yang mempunyai efek meningkatkan dopamine dan menimbulkan kecanduan, nafsu makan juga bisa dikatakan sejenis ketagihan. Seperti pada orang-orang yang ketagihan makan coklat dan yang manis-manis. Bedanya, makanan mempunyai efek kadang-kadang saja.

Masalah seperti gangguan makan dan obesitas dapat timbul karena seseorang berusaha memenuhi semua keinginan yang muncul dalam pikiran dengan cara yang keliru yaitu dengan lari ke makanan. Karena lapar pikiran tidak ada batasnya, maka seseorang juga tak akan pernah kenyang dengan makanan apa pun yang dimakannya. Jadi, untuk menghindari masalah kelebihan berat badan, cara yang banyak dianjurkan adalah mencari cara lain yang dijadikan hobi untuk menyenangkan pikiran dengan sesuatu yang bukan makanan.

Category: Labels: | 0 Comments

0 comments to “Mengatasi Kegagalan Berdiet”