Pemeriksaan medik untuk tujuan membantu penegakan hukum antara lain adalah pembuatan visum et repertum terhadap seseorang yang dikirim oleh polisi (penyidik) karena diduga sebagai korban suatu tindak pidana, baik dalam peristiwa kecelakaan lalu-lintas, kecelakaan kerja, penganiayaan, pembunuhan, perkosaan, maupun korban meninggal yang pada pemeriksaan pertama polisi terdapat kecurigaan kemungkinan adanya tindak pidana. Di hadapan dokter, seorang korban hidup dapat berstatus sebagai korban untuk dibuatkan visum et repertum sekaligus berstatus sebagai pasien untuk diobati/dirawat.

Sebagai pasien, orang tersebut mempunyai hak dan kewajiban yang timbul akibat hubungan dokter-pasien (kontrak terapeutik). Berbagai hak yang dimiliki pasien seperti hak atas informasi, hak menolak/memilih alternatif cara pemeriksaan/terapi, hak atas rahasia kedokteran dan lain-lain harus dipatuhi oleh dokter. Namun sebagai korban, pada orang tersebut berlaku ketentuan-ketentuan seperti yang diatur dalam hukum acara pidana. Orang tersebut tidak dapat begitu saja menolak pemeriksaan forensik yang akan dilakukan terhadap dirinya.

Sejarah Visum Et Repertum di Indonesia
Nama visum et repertum tidak pernah disebut di dalam KUHAP maupun hukum acara pidana sebelumnya (RIB=Reglemen Indonesia yang diBarui). Nama visum et repertum sendiri hanya disebut di dalam Statsblad 350 tahun 1937 pasal 1 dan 2 yang berbunyi :
  1. Visa reperta dari dokter-dokter yang dibuat atas sumpah jabatan yang diikrarkan pada waktu menyelesaikan pelajaran kedokteran di Belanda atau di Indonesia, atau sumpah khusus sebagai yang dimaksud dalam pasal 2, mempunyai daya bukti dalam perkara-perkara pidana, sejauh itu mengandung keterangan tentang yang dilihat oleh dokter pada benda yang diperiksa.
  2. Dokter-dokter yang tidak mengikrarkan sumpah jabatan di Belanda maupun di Indonesia sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, boleh mengikrarkan sumpah (janji) sebagai berikut : "..."
Sedangkan bunyi sumpah dokter yang dimaksud dalam pasal 1 di atas adalah lafal sumpah seperti pada Statsblad 1882 No 97, pasal 38 (berlaku hingga 2 Juni 1960) yang berbunyi :
"Saya bersumpah (berjanji) bahwa saya akan melakukan pekerjaan ilmu kedokteran, bedah, dan kebidanan menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang sebaik-baiknya menurut kemampuan saya dan bahwa saya tidak akan mengumumkan kepada siapapun juga segala sesuatu  yang dipercayakan kepada saya atau yang saya ketahui karena pekerjaan saya, kecuali kalau saya dituntut untuk memberi keterangan sebagai saksi atau ahli di muka pengadilan atau selain itu saya berdasarkan undang-undang diwajibkan untuk memberi keterangan."

Dari bunyi Stb 350 tahun 1937 terlihat bahwa :
  1. Nilai daya bukti visum et repertum dokter hanya sebatas mengenai hal yang dilihat atau ditemukannya saja pada korban. Dalam hal demikian, dokter hanya dianggap memberikan kesaksian mata saja.
  2. Visum et repertum hanya sah bila dibuat oleh dokter yang sudah mengucapkan sumpah sewaktu mulai menjabat sebagai dokter, dengan lafal sumpah dokter seperti yang tertera pada Statsblad No 97 pasal 38 tahun 1882. Lafal sumpah dokter ini digunakan sebagai landasan pijak pembuatan visum et repertum.
Pasal-pasal KUHAP yang mengatur tentang produk dokter yang sepadan dengan visum et repertum adalah pasal 186 dan 187. Pada pasal 186 dijelaskan bahwa keterangan ahli ialah segala hal yang dinyatakannya di sidang pengadilan. Artinya keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Sedangkan pada pasal 187, butir (c) dinyatakan bahwa surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi kepadanya. Keduanya termasuk ke dalam alat bukti yang sah sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP pasal 184 ayat (1) yang menyatakan bahwa alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa. Dari pasal-pasal tersebut tampak bahwa yang dimaksud dengan keterangan ahli maupun surat (butir c) dalam KUHAP adalah sepadan dengan yang dimaksud dengan visum et repertum dalam Stb no.350 tahun 1937.

Perbedaannya adalah bahwa keterangan ahli atau surat (KUHAP) adalah keterangan atau pendapat yang dibuat oleh ahli (termasuk dokter) berdasarkan keilmuannya, tidak hanya terbatas pada apa yang dilihat dan ditemukan oleh si pembuat. Oleh karena itu berdasarkan keilmuannya maka keterangan ahli atau surat tersebut yang dibuat oleh dokter harus dibuat atas dasar pemeriksaan medik.

Pendapat yang tidak berdasarkan hasil pemeriksaan medik tentu saja tidak merupakan bagian dari visum et repertum. Pemeriksaan medik tersebut tidak harus dilakukan oleh dokter pembuat visum et repertum sendiri. Hal ini mengingat bahwa kemajuan ilmu kedokteran mengakibatkan berbagai pemeriksaan yang khusus harus dilakukan oleh dokter dengan keahlian khusus pula sehingga pemeriksaan medik terhadap seorang pasien (korban) mungkin saja dibuat oleh beberapa dokter dari berbagai bidang spesialisasi.

Nama visum et repertum hingga saat ini masih dipertahankan walaupun dengan konsep yang berbeda dengan konsep yang lama. Nama visum et repertum ini digunakan untuk membedakan surat/keterangan ahli yang dibuat dokter dengan surat/keterangan ahli yang dibuat oleh ahli lain yang bukan dokter.

Definisi
Visum et repertum adalah keterangan yang dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup atau mati ataupun bagian atau diduga bagian dari tubuh manusia berdasarkan keilmuannya dan dibawah sumpah untuk kepentingan peradilan.

Dasar Hukum
Pasal 133 KUHAP menyebutkan :
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.

(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.

Penjelasan terhadap pasal 133 KUHAP :
(2) Keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli, sedangkan keterangan yang diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan.

Penyidik
Menurut KUHAP pasal 6 ayat (1) junto PP 27 tahun 1983 pasal 2 ayat (1) adalah Pejabat Polisi Negara RI yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang dengan pangkat serendah-rendahnya Pembantu Letnan Dua. Sedangkan penyidik pembantu berpangkat serendah-rendahnya Sersan Dua. Dalam PP yang sama disebutkan bahwa bila penyidik tersebut adalah pegawai negeri sipil, maka kepangkatannya serendah-rendahnya adalah golongan II/b untuk penyidik dan II/a untuk penyidik pembantu. Bila di suatu Kepolisian Sektor tidak ada pejabat penyidik seperti di atas, maka Kepala Kepolisian Sektor yang berpangkat bintara di bawah Pembantu Letnan Dua dikategorikan pula sebagai penyidik karena jabatannya (PP 27 tahun 1983 pasal 2 ayat (2)).

Dalam lingkup kewenangan/jurisdiksi peradilan militer maka pengertian penyidik dapat dikaitkan dengan Surat Keputusan Pangab No :Kep/04/P/II/1983 tentang Penyelenggaraan Fungsi Kepolisian Militer. Pasal 4 huruf c pada ketentuan tersebut mengatur fungsi Polisi Militer sebagai penyidik, sedangkan pasal 6 ayat c pada ketentuan di atas mengatur fungsi Provoost dalam membantu Komandan/Ankum (atasan yang berhak menghukum) dalam penyidikan perkara pidana (di lingkungan yang bersangkutan), tetapi penyelesaian selanjutnya diserahkan kepada POM atau POLRI.

Penyidik merupakan penyidik tunggal bagi pidana umum termasuk pidana yang berkaitan dengan kesehatan dan jiwa manusia. Oleh karena itu visum et repertum adalah keterangan ahli mengenai pidana yang berkaitan dengan kesehatan dan jiwa manusia maka penyidik pegawai negeri sipil tidak berwenang meminta visum et repertum karena mereka hanya mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing (Pasal 7 (2) KUHAP). 

Untuk mengetahui bahwa suatu Surat Permintaan pemeriksaan telah ditandatangani oleh yang berwenang maka yang penting adalah bahwa si penandatangan menandatangani surat tersebut selaku penyidik.Wewenang penyidik meminta keterangan ahli ini diperkuat dengan kewajiban dokter untuk memberikannya bila diminta, seperti yang tertuang dalam pasal 179 KUHAP sebagai berikut :

(1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.

Visum et repertum dibuat untuk peradilan yang digunakan untuk membantu pihak kepolisian mengungkap sekaligus menangkap pelaku kejahatan maka prosesnya harus transparan. Transparansi tidak terletak pada individu dokter tetapi pada lembaga peradilan (demi hukum dan keadilan). Oleh karena itu seringkali harus diungkapkan fakta untuk kepentingan hukum tersebut karena kepentingan masyarakat harus diletakkan di atas kepentingan individu.

Peranan dan Fungsi 
Visum et repertum turut berperan dalam proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Visum et repertum menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik yang tertuang di dalam Pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap sebagai benda bukti. Visum et repertum juga memuat keterangan atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang di bagian Kesimpulan.

Dengan demikian visum et repertum secara utuh telah menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum sehingga dengan membaca visum et repertum dapat diketahui dengan jelas apa yang telah terjadi pada seseorang dan para praktisi hukum dapat menerapkan norma-norma hukum pada perkara pidana yang menyangkut tubuh/jiwa manusia.

Apabila visum et repertum belum dapat menjernihkan persoalan di sidang pengadilan maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau diajukannya bahan baru seperti yang tercantum dalam KUHAP yang memberi kemungkinan dilakukannya pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan (pasal 180 KUHAP).

Jenis dan Bentuk 
Dikenal beberapa jenis visum et repertum, yaitu :
  1. Visum et repertum perlukaan (termasuk keracunan)
  2. Visum et repertum kejahatan susila
  3. Visum et repertum jenasah
  4. Visum et repertum psikiatrik
Jenis 1,2, dan 3 adalah visum et repertum mengenai tubuh/raga manusia yang dalam hal ini berstatus sebagai korban tindak pidana, sedangkan jenis ke-4 adalah mengenai jiwa/mental tersangka/terdakwa tindak pidana. Meskipun jenisnya bermacam-macam namun nama resminya tetap sama yaitu Visum et Repertum, tanpa embel-embel lain.

Visum et repertum dibuat secara tertulis, sebaiknya dengan mesin ketik, di atas sebuah kertas putih dengan kepala surat institusi kesehatan yang melakukan pemeriksaan, ditulis dalam bahasa Indonesia, tanpa memuat singkatan, dan sedapat mungkin tanpa istilah asing, bila terpaksa digunakan agar diberi penjelasan bahasa Indonesia. Apabila penulisan suatu kalimat dalam visum et repertum berakhir tidak pada tepi kanan format maka sesudah tanda titik harus diberi garis hingga ke tepi kanan format. Apabila diperlukan foto atau gambar dalam visum et repertum untuk lebih memperjelas uraian tertulis maka gambar atau foto tersebut diberikan dalam bentuk lampiran.

Visum et repertum terdiri dari 5 bagian yang tetap, yaitu :
  1. Kata Pro Justitia yang diletakkan di bagian atas. Kata ini menjelaskan bahwa visum et repertum khusus dibuat untuk tujuan peradilan. Visum et repertum tidak membutuhkan materai untuk dapat dijadikan alat bukti di depan sidang pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum.
  2. Bagian Pendahuluan. Kata "Pendahuluan" sendiri tidak ditulis dalam visum et repertum melainkan langsung dituliskan berupa kalimat-kalimat di bawah judul. Bagian ini menerangkan nama dokter pembuat visum et repertum dan institusi kesehatannya, instansi penyidik pemintanya berikut nomor dan tanggal surat permintaan, tempat dan waktu pemeriksaan, serta identitas korban yang diperiksa. Dokter tidak dibebani pemastian identitas korban maka uraian identitas korban adalah sesuai dengan uraian identitas yang ditulis dalam surat permintaan visum et repertum. Bila terdapat ketidaksesuaian identitas korban antara surat permintaan dengan catatan medik atau pasien yang diperiksa, dokter dapat meminta kejelasannya dari penyidik.
  3. Bagian Pemberitaan. Bagian ini berjudul "Hasil Pemeriksaan" dan hasil pemeriksaan medik tentang keadaan kesehatan atau sakit atau luka korban yang berkaitan dengan perkaranya, tindakan medik yang dilakukan serta keadaannya selesai pengobatan/perawatan. Bila korban meninggal dan dilakukan otopsi maka diuraikan keadaan seluruh alat dalam yang berkaitan dengan perkara dan matinya orang tersebut. Yang diuraikan dalam bagian ini merupakan pengganti barang bukti, berupa perlukaan/keadaan kesehatan/sebab kematian yang berkaitan dengan perkaranya. Temuan hasil pemeriksaan medik yang bersifat rahasia dan tidak berhubungan dengan perkaranya tidak dituangkan ke dalam bagian pemberitaan dan dianggap tetap sebagai rahasia kedokteran.
  4. Bagian Kesimpulan. Bagian ini berjudul "Kesimpulan" dan berisi pendapat dokter berdasarkan keilmuannya mengenai jenis perlukaan/cedera yang ditemukan dan jenis kekerasan atau zat penyebabnya serta derajat perlukaan atau sebab kematiaannya.
  5. Bagian Penutup. Bagian ini tidak berjudul dan berisikan kalimat baku "Demikianlah visum et repertum ini saya buat dengan sesungguhnya berdasarkan keilmuan saya dan dengan mengingat sumpah sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acaa Pidana."
Perbedaan Visum Et Repertum Dengan Catatan Medik Dan Surat Keterangan Medik Lainnya
Catatan medik adalah catatan tentang seluruh hasil pemeriksaan medik beserta tindakan pengobatan/perawatannya yang merupakan milik pasien meskipun dipegang oleh dokter/institusi kesehatan. Catatan medik ini terikat pada rahasia pekerjaan dokter yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1966 dengan sanksi hukum seperti dalam pasal 322 KUHP.

Dokter boleh membuka isi catatan medik kepada pihak ketiga misalnya dalam bentuk keterangan medik hanya setelah memperoleh izin dari pasien baik berupa izin langsung maupun berupa perjanjian yang dibuat sebelumnya antara pasien dengan pihak ketiga tertentu (misalnya perusahaan asuransi).

Oleh karena itu visum et repertum dibuat atas kehendak undang-undang maka dokter tidak dapat dituntut karena membuka rahasia pekerjaan sebagaimana diatur dalam pasal 322 KUHP meskipun dokter membuatnya tanpa seizin pasien. Pasal 50 KUHP mengatakan bahwa barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana sepanjang visum et repertum tersebut hanya diberikan kepada instansi penyidik yang memintanya untuk selanjutnya dipergunakan dalam proses peradilan.

Pada masyarakat berkembang persepsi yang salah seakan-akan pada otopsi jenazah perutnya sudah kosong karena organnya diambil. Padahal tidak pernah ada pengambilan organ tubuh manusia untuk kepentingan visum et repertum. Kalaupun diperlukan pemeriksaan organ maka potongan organ yang diambil cukup hanya seluas 0,5 x 0,5 cm. Biasanya jenazah kalau sudah dibuka perut atau ususnya maka gasnya akan keluar dan setelah direposis kembali terlihat perutnya kempes.

0 comments to “Visum Et Repertum”