Sampai hari ini, perbedaan pendapat mengenai sesuai tidaknya demokrasi dengan Islam tetap menjadi polemik tersendiri. Sebagian umat Islam yang menerima demokrasi mendirikan partai-partai Islam dan memasuki perjuangan lewat pemilu dan MPR/PARLEMEN. Bagi mereka, amat tidak masuk akal menyatakan demokrasi bertentangan dengan Islam. Sebaliknya, pihak umat Islam yang menolak demokrasi tetap bersikeras menyatakan kekufuran dan kesyirikan demokrasi. Kedua pendapat yang bertentangan ini sulit dicarikan titik temu. Tak jarang karena tidak memahami adab ikhtilaf yang baik akhirnya terjadi saling menghujat dan menyalahkan sesama aktivis Islam. Kajian ini berusaha untuk mencari kebenaran tentang hakekat demokrasi sebenarnya dan mendiskusikan kedua pendapat tadi secara jujur dan obyektif. Semoga bermanfaat. Wallahu al Musta’an.
I. DEFINISI
Islam akan hancur bilamana umatnya tidak mengerti jahiliyah. Demikian kata shahabat Umar. Supaya gambaran demokrasi bisa dipahami dengan baik, di bawah ini kita ketengahkan sekilas tentang demokrasi.
a. Secara Etimologi
Kata Demokrasi merupakan gabungan kata dari dua lafadz dalam bahasa Yunani, yaitu Demos dan Kratos/cratein. Demos berarti rakyat sedangkan Kratos berarti kekuasaan. Jadi demokrasi adalah “Pemerintahan oleh Rakyat.” [Ilmu Negara hal 167]. Dalam kamus Ilmiah Populer disebutkan, Demokrasi adalah kerakyatan; pemerintahan atas asas kerakyatan ; pemerinyahan rakyat (dengan perwakilan ).
b. Secara terminologi
Diketahui dari ucapan Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat ( democracy is government of the people, by the people, and for the people). [Ilmu Negara, hal 167].
Maknanya sebagaimana diterangkan oleh Ust. Sa’id Abdul Adhim bahwa demokrasi adalah pemerintahan yang mana sistem pelaksanaannya (mekanisme penyelenggaraan negara) dan syari’at serta hukum–hukumnya merupakan hasil dari suara rakyat dan ditetapkan untuk rakyat pula”[ Ad Dimukratiyyah Fi Al Mizan, hal 31].
II. SEJARAH DEMOKRASI
Konsep demokrasi memang muncul dari dunia Barat, tepatnya pada masyarakat Yunani kuno, ketika salah seorang negarawannya yang bernama Pericles mencetuskan konsep itu pada tahun 431 SM. Ia mendefinisikan demokrasi dengan mengemukakan beberapa kriteria : Pemerintahan oleh rakyat dengan partisipasi rakyat yang penuh dan langsung, kesamaan di depan hukum serta menghargai pluralisme.
Disamping itu, ada sejumlah filosof terkemuka lain yang memberikan sumbangan konsep demokrasi seperti Plato, Aristoteles, Polybius dan Cicero. Tentu tak semua mendukung. Socrates misalnya, menolak konsep demokrasi. Ia lebih setuju konsep meritokrasi yang memberikan kekuasaan kepada orang –orang yang cakap memimpin, ketimbang konsep demokrasi yang memberikan kekuasaan kepada sembarang orang.
Konsep demokrasi masa itupun hanya laku di Yunani dan Romawi. Di berbagai negeri Eropa lainnya masih berlaku sistem monarki absolut yang diwariskan berabad-abad. Kedaulatan sepenuhnya ada di tangan raja dan kaisar yang dipercaya sebagai wakil tuhan di muka bumi.
Setelah itu kekuasaan di Eropa diwarnai dengan konsep Teokrasi, sejak agama Kristen merambah dunia itu dan lembaga Gereja melakukan dominasi tak terhingga dan menegakkan hukum-hukumnya sendiri atas nama Tuhan, dan pada akhirnya memaksakan keIlahian dan ketuhanan mereka sendiri atas rakyat.
Konsep demokrasi mulai marak kembali 17 abad kemudian di masa Renaissance, ditandai dengan kehadiran pemikiran filosof Niccolas Macchiaveli (1467 – 1527), Thomas Hobbes (1588 – 1679), John Locke (1632–1704), Montesqieu (1689 – 1755) dan Jean Jacques Rousseau (1712 – 1778), sebagai reaksi atas keotoriteran monarki dan gereja.
Era sesudah itu konsep demokrasi semakin berkembang, utamanya setelah Revolusi Perancis, Revolusi Industri di Inggris dan Revolusi Amerika, kemudian menjalar ke berbagai negara termasuk di Asia dan Afrika, sejalan dengan perolehan kemerdekaan negara-negara di dua benua itu.
Selama perkembangannya, demokrasi mengalami berbagai penafsiran, hingga terdapat berbagai versi demokrasi, seperti demokrasi konstitusional, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila, demokrasi Islam, demokrasi rakyat, hingga demokrasi komunis yang sejatinya otoriter.
Dimasa depan, boleh jadi madzhabnya akan bertambah banyak, atau malah akan tergantikan sama sekali oleh sebuah sistem baru. [Suara Hidayatullah-03/XII/Juli 1999, hal 52-53].
Padmo Wahjono menulis macam-macam demokrasi sebagai berikut : demokrasi Barat (Liberal), demokrasi Timur (demokrasi Rakyat/Proletar), demokrasi Tengah, demokrasi sederhana. M. Solly Lubis, menulis macam-macam demokrasi adalah : demokrasi Barat dan demokrasi Rusia, demokrasi yang representatif dengan sistem pemisahan kekuasaan dan demokrasi yang representatif dengan sistem referendum.
Kriteria yang digunakan untuk membuat klasifikasi jenis-jenis demokrasi tersebut antara lain berdasarkan sifat hubungan antara badan legislatif dengan badan eksekutif sesuai dengan ajaran Montesquieu yang kemudian terkenal dengan istilah Trias Politica.
Montesquieu dalam ajaran Trias Politica membedakan adanya tiga jenis kekuasaan dalam negara, yaitu :
a) kekuasaan yang bersifat mengatur, atau menentukan peraturan.
b) kekuasaan yang bersifat melaksanakan peraturan dan
c) kekuasaan yang bersifat mengawasi pelaksanaan peraturan tersebut.
Ketiga jenis kekuasaan itu harus didistribusikan kepada beberapa organ, dan tiap organ hanya memegang satu kekuasaan saja, yaitu :
a) kekuasaan yang bersifat mengatur adalah kekuasaan perundang-undanganan diserahkan kepada organ legislatif
b) kekuasaan yang bersifat melaksanakan peraturan diserahkan kepada organ eksekutif
c) kekuasaan yang bersifat mengawasi pelaksanaan peraturan diserahkan kepada organ yudikatif
Meskipun demikian, dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan penafsiran mengenai ajaran Montesquieu tersebut, khususnya penafsiran mengenai hubungan antara organ yang satu dengan lainnya. Tiga macam perbedaan penafsiran yang dikemukakan oleh Soehino sebagai berikut :
Di Amerika Serikat : ajaran Montesquieu tersebut ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan yang tegas bahkan juga pemisahan organ-organnya. Penafsiran ini kemudian menimbulkan sistem Pemerintahan Presidensial.
Di Eropa Barat khususnya Inggris menafsirkan bahwa antara organ yang satu dengan organ lainnya terdapat hubungan timbal balik, seperti legislatif dengan eksekutif. Penafsiran demikian berhasil menciptakan suatu sistem pemerintahan yang disebut : Sistem Parlementer;
Di Swiss ditafsirkan bahwa badan eksekutif hanyalah sebagai badan pelaksana dari apa yang telah digariskan oleh badan legislatif. Sistem demokrasi yang dilaksanakan di Swiss tersebut yang kemudian dikenal dengan nama Sistem Referendum.
Akibat dari perbedaan penafsiran tersebut maka dikenal tipga tipe demokrasi modern, yaitu :
a) Demokrasi atau pemerintahan perwakilan rakyat yang representatif dengan sistem pemisahan kekuasaan secara tegas atau sistem presidensial.
b) Demokrasi atau pemerintahan perwakilan rakyat yang representatif, dengan sistem pemisahan kekuasaan namun pada badan yang diserahi kekuasaan khususnya legislatif dan eksekutif, terdapat hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi atau sistem parlementer
c) Demokrasi atau pemerintahan perwakilan rakyat yang representatif dengan sistem pemisahan kekuasaan dan dengan kontrol yang secara langsung dari rakyat, disebut sistem referendum atau sistem badan pekerja. [Ilmu Negara, hal 168-170].
Demokrasi mempunyai dua prinsip pokok yaitu :
1. Liberalisme.
2. Kapitalisme. [Ad Dimukratiyah Fi Al Mizan, hal 31].
III. KLASIFIKASI DEMOKRASI DI TINJAU DARI SEGI ; TAHAPAN, BENTUK ISI SERTA JENISNYA
1. Tahapan Demokrasi
Menurut tahapannya dikenal dua tahapan demokrasi, yaitu :
a) demokrasi langsung
b) demokrasi tidak langsung.
Dalam demokrasi langsung berarti rakyat ikut secara langsung dalam menentukan policy pemerintahan. Hal ini terjadi pada tipe-tipe negara – negara kota waktu zaman Yunani Kuno, rakyat berkumpul pada tempat tertentu untuk membicarakan berbagai masalah kenegaraan. Pada masa modern ini cara demikian tentu tidak mungkin lagi karena selain negaranya semakin luas dan meliputi banyak warganya, urusan – urusan kenegaraannya pun semakin kompleks. Jadi rakyat tidak lagi ikut dalam urusan pemerintahan secara langsung melainkan melalui wakil – wakil yang ditentukan dalam suatu pemilihan umum ( Pemilu ). Hal ini yang disebut demokrasi tidak langsung.
Bentuk ( Method of decision making)
2. Bentuk Demokrasi
Pengertian demokrasi dari segi bentuknya, maka bisa diartikan demokrasi adalah pemerintahan yang dilakukan oleh orang banyak. Demokrasi dari sudut bentuknya disebut demokrasi formal.
3. Isi Demokrasi
Pengertian demokrasi dari segi isinya, maka demokrasi adalah pemerintahan yang dilakukan untuk kepentingan orang banyak. Demokrasi dari sudut isinya disebut demokrasi material. [Ilmu Negara, hal 167-168].
4. Jenis – Jenis Demokrasi Modern
a) Demokrasi Modern dengan sistem Presidental
Dalam sistem ini terdapat pemisahan yang tegas antara fungsi legislatif dan fungsi eksekutif. Juga pemisahan tegas antara badan legislatif dengan badan eksekutif. Badan legislatif sebagai badan yang memegang kuasa perundang– undangan adalah Badan Perwakilan Rakyat. Dengan adanya pemisahan demikian maka secara prinsipil badan – badan tersebut bebas dari pengaruh yang satu terhadap yang lain.
Amerika Serikat, yang menganut sistem pemisahan kekuasaan. Badan legislatifnya adalah congress, yang terdiri atas senat (senate) dan Badan Perwakilan Rakyat ( House of Representatives ) yang bekerja sama secara bikameral dalam pembuatan undang – undang termasuk UUD. Senat adalah wakil dari negara – negara bagian. Tiap negara bagian mempunyai dua orang wakil sebagai senator, sedangkan dalam badan perwakilan rakyat masing-masing negara bagian diwakili oleh sejumlah wakil yang banyak berdasarkan jumlah penduduk negara bagian yang bersangkutan. Sejak tahun 1913 baik senat maupun badan perwakilan rakyat, anggota-anggotanya dipilih oleh para pemilih dimasing-masing negara tersebut dalam pemilihan umum.
Susunan dari badan eksekutif terdiri atas seorang presiden sebagai kepala pemerintah, dibantu oleh seorang wakil presiden. Dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari, presiden dibantu pula oleh lembaga legislatif, para menteri tidak dapat diberhentikan oleh badan perwakilan rakyat. Para menteri tidak mempunya hubungan pertanggung jawaban dengan badan perwakilan rakyat. Yang bertanggung jawab atas tugas-tugas yang dijalankan oleh para menteri adalah presiden sebagai pemberi tugas tersebut. Presiden juga tidak dapat dijatuhkan oleh badan perwakilan rakyat sehubungan dengan tindakan politik negara yang menyimpang selama masa jabatannya kecuali jika presiden melakukan kejahatan-kejahatan dalam empeachment.
b) Demokrasi Modern dengan sistem Parlementer.
Dalam system ini terdapat hubungan yang erat antara badan eksekutif dan badan legislatif, atau parlemen, atau badan perwakilan rakyat. Kekuasaan eksekutif diserahkan kepada suatu badan yang disebut kabinet atau dewan menteri. Kabinet ini yang bertanggung jawab kepada parlemen. Jika pertanggung jawaban itu tidak dapat diterima oleh parlemen, maka parlemen dapat menyatakan tidak percaya (mosi tidak percaya) terhadap kebijaksanaan kabinet. Untuk itu kabinet harus mengundurkan diri. Dengan demikian, maka titik berat kekuasaan ada di tangan parlemen.
Akan tetapi ada kalanya pula bahwa penilaian parlemen terhadap kebijaksanaan kabinet tersebut, berbeda/bertolak belakang dengan penilaian rakyat sendiri. Jika terjadi keadaan demikian, maka parlemen sudah tidak menyuarakan kehendak rakyat lagi atau sudah tidak representatif lagi. Guna menghindari hal itu maka kepala negara mempunyai hak untuk membubarkan parlemen. Jika parlemen bubar maka diadakan pemilihan umum baru.
Seandainya badan perwakilan rakyat hasil pemilihan umum yang baru ini pun tidak dapat menerima pertanggung jawaban tersebut, maka kabinet harus mundur. Hal ini berarti badan perwakilan rakyat yang mengajukan mosi tidak percaya adalah benar badan perwakilan rakyat yang representatif sebaliknya tindakan kepala negara dalam membubarkan badan perwakilan rakyat sebelumnya adalh tindakan yang tepat. Keadaan ini akan berlaku sebaliknya jika badan perwakilan rakyat hasil pemilu yang baru ini dapat menerima pertanggung jawaban kabinet.
Dalam sistem parlementer, kepala negara tidaklah merupakan pimpinan yang nyata, melainkan sekedar lambang. Yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kekuasaan pemerintahan negara adalah : kabinet baik para menteri secara perorangan maupun secara bersama-sama untuk seluruh kabinet. Bahkan jika kepala negara atau raja yang bersalah yang bertanggung jawab adalah menteri.
Berdasarkan hal itu maka kebijaksanaan pemerintah dan negara ditentukan oleh kabinet, akan tetapi keputusan yang dikeluarkan dalam pelaksanaan kebijakan tersebut haruslah merupakan peraturan negara, ditandatangani oleh kepala negara. Untuk menunjukkan bahwa terhadap peraturan yang bersangkutan menteri yang bersangkutan pula yang bertanggung jawab atau tanggung jawab perdana menteri atas nama seluruh anggota kabinet, maka menteri yang bersangkutan atau perdana menteri turut menandatangani keputusan atau peraturan yang bersangkutan. Turut menandatangani tersebut lazimnya disebut Contrasign.
Menurut sejarahnya sistem parlementer ini bErasal dari Inggris . sistem ini dimulai dengan adanya asas The King Can Do No Wrong ( raja tidak dapat berbuat salah) hal ini tidaklah berarti bahwa raja sama sekali tidak pernah berbuat kesalahan atau kekeliruan justru para menteri yang dipersalahkan. Hal ini berhubungan dengan contrasign kabinet diatas. Jadi atas kesalahan raja, yang bertanggung jawab adalah menteri yang bersangkutan atau kabinet secara keseluruhan. Sebagai asas itu maka muncul sistem parlementer dengan pertanggung jawaban menteri/kabinet kepada parlemen.
c) Demokrasi Modern dengan sistem Referendum.
Sistem Referendum terdapat di Swiss. Badan eksekutifnya merupakan dewan yang disebut Bundesrat. Dewan tersebut adalah bagian dari badan legislatif yang disebut bundesversammlung yang terdiri atas Nationalrat dan Stadenrat.
Nationalrat adalah badan perwakilan Nasional, sedangkan Stadenrat adalah perwakilan dari negara – negara bagian. Negara-negara bagian itu sendiri disebut Kanton.
Mekanisme pelaksanaan pemerintah adalah sebagai berikut : mula – mula yang terbentuk adalah Bundesversammlung yang terdiri atas Nationalrat dan standerat. Nationalrat dipilih secara langsung oleh rakyat melalui suatu pemilihan umum. Masa jabatan Nationalrat adalah 4 tahun. Selain itu setiap Kanton mengirimkan dua orang wakil untuk duduk dalam standerat. Cara pemilihan dan masa jabatan masing-masing anggota standerat ditentukan oleh kanton masing-masing. Setelah Bundesversammlung terbentuk, maka badan itulah berfungsi sebagai badan legislatif yang membuat UU, termasuk UUD.
Setelah UUD terbentuk, lalu bundesversammlung memilih 7 orang anggotanya untuk duduk dalam Bundesrat guna melaksanakan UU tersebut. Sebelum UU itu dilaksanakan, dimintakan terlebih dahulu pendapat rakyat melalui referendum. Ada tiga bentuk referendum, yaitu:
1. Referendum obligatoir (wajib) yaitu untuk berlakunya suatu undang-undang yang terpenting atau UUD, atau UU lain yang menyangkut hak rakyat, Bundesrat harus meminta pendapat rakyat terlebih dahulu dengan mengisi formulir. Jika lebih banyak suara yang menyetujui UU dapat berlaku, demikian juga sebaliknya.
2. Referendum fakultatif (tidak wajib) yaitu terhadap UU trtentu Bundesrat tidak langsung meminta pendapat rakyat, melainkan diumumkan saja untuk jangka waktu tertentu. Jika dalam kurun tertentu tidak ada reaksi dari sejumlah orang tertentu maka UU itu langsung mampunyai kekuatan mengikat , sebaliknya jika sebagian besar rakyat mengajukan keberatannya agar diadakan referendum, maka terhadap UU yang bersangkutan dimintakan pendapat rakyat terlebih dahulu sebelum diberlakukan
3. Referendum consultatif yaitu referndeum mengenai soal-soal teknis yang biasanya wakil rakyat sendiri kurang mengerti tentang materi UU yang dimintakan persetujuannya.
Klasifikasi jenis-jenis demokrasi tersebut diatas adalah klasifikasi berdasarkan penafsiran terhadap pandangan Montesquieu mengenai pemisahan kekuasaan dalam teori Trias Politica. Demokrasi baik dalam arti formal maupun dalam arti material, kedua-duanya mengandung unsur kebebasan dan persamaan. Antara kedua unsur tersebut ternyata semua negara di dunia ini tidak memberikan tekanan yang sama. Ada negara yang lebih menekankan pada unsur kebebasannya sebaliknya ada negara yang lebih menekankan soal persamaannya.
Bertalian dengan hal tersebut, Moh. Koesnardi dan Bintan R. Saragih, menulis bahwa ada dua paham yang penting, yaitu : demokrasi konstitusional dan demokrasi rakyat, dan ditambah lagi aliran ketiga, yaitu demokrasi Pancasila.
a. Demokrasi Modern dengan sistem Konstitusional.
Demokrasi Konstitusional atau sering disebut Demokrasi Liberal ialah demokrasi yang didasarkan pada kebebasan atau individualistis. Salah seorang pelopor aliran ini adalah Hans Kelsen. Ia berpendapat bahwa juika suatu negara tidak menjamin kebebasan warganya, maka negara tersebut bukanlah negara demokrasi. Untuk menjam,in kebebasan warganya, kekuasaan pemerintah harus dibatasi. Pembatasan klekuasaan pemerintah ditetapkan melalui konstitusi. Maka demokrasi ini disebut pula Demokrasi Konstitusional.
Ciri-ciri demokrasi konstitusional menurut Henry B. Mayo :
1. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga.
2. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berkembang.
3. Menyelenggarakan pergantian pemimpin secara teratur.
4. Membatasi penggunaan kekerasan sampai tingkat minimal.
5. Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragam.
6. Menjamin tegaknya keadilan.
Lembaga-lembaga yang disediakan untuk melaksanakan demokrasi tersebut adalah :
1. Pemerintah yang bertanggung jawab.
2. Suatu badan perwakilan rakyat yang mewakili golongan – golongan dan kepentingan – kepentingan dalam masyarakat. Yang dipilih melalui suatu pemilihan umum yang bebas dan rahasia, terhadap calon yang lebih dari satu, memungkinkan oposisi yang membangun dan penilaian terhadap kebijaksanaan pemerintah secara kontinu.
3. Suatu organisasi politik yang mencakup dua atau lebih partai politik, partai-partai menyelenggarakan hubungan kontinu antara masyarakat umum dengan para pemimpinnya.
4. Pers dan media massa yang bebas untuk menyatakan pendapat
5. Sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak – hak asasi dan mempertahankan keadilan.
Secara ringkas, demokrasi-demokrasi konstitusional menghadapi sejumlah masalah. Salah satunya adalah bagaimana menghasilkan perubahan dengan tetap mempertahankan stabilitas. Isu-isu lainnya menyangkut bagaimana menemukan metode-metode untuk memberikan hak berkuasa kepada para pemimpin dengan tetap mencegah mereka menindas yang lain-lain. Masih ada problem lainnya, yakni mewujudkan pemerintaha terbatas (check and balance) tanpa menimbilkan pemerintahan “lumpuh” yang tidak dapat memobilisasikan sumber daya untuk memprakarsai kebjakan-kebijakan yang dibuutuhkan. Akhirnya, sebuah demokrasi konstitusional harus mencoba mempertemukan konstitusionealisme dengan demokrasi. Konstitusi mengatur pendayagunaan dan distribusi kekuasaan,; demokrasi menyangkut antara lain : peran serta aktif dari warga negara di dalam kehidupan politik.meskipun demikian, suatu konstitusi tidak hanya mmembatasi kekuasaan para penguasa tetapi juga hak-hak warga negara untuk berperan serta. Misalnya, selama abad kesembilan belas, kekangan-kekangan hukum membatasi kekuasaan pemimpin Inggris; tidak ada suatu kelompok atau orang yang memainkan kekuasan absolut. Meskipun demikian, tidak semua warga negara laki-laki dapat berperan serta dalam politik. Sampai permulaan abad kesua puluh di Inggris belum ada hak untuk memberikan suara secara universal bagi kaum pria, sementara hak suara bagi wanita baru terwujud hanya setelah perang dunia pertama. Walaupun orang Perancis telah mempunyai hak pemberian suara bagi semua laki-laki semenjak pemilihan 1849, wanita Perancis tidak memperoleh hak suara sampai akhir Perang Dunia Kedua. [Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial, hal 275-279].
b. Demokrasi Rakyat (Demokrasi Proletar)
Demokrasi rakyat lebih ditekankan pada unsur kesamaannya. Tokoh aliran ini antara lain Robert Owens, Saint Simon, Snetlage, dan Karl Marx. Menurut Karl Marx masyarakat yang dicita-citakan adalah masyarakat komunis, yaitu masyarakat dimana tidak terdapat kelas-kelas sosial. Menurut dibebaskan dari keterikatannya terhadap milik pribadi dan tidak ada penindasan atau paksaan. Akan tetapi, untuk mencapai masyarakat yang dicita-citakan harus melalui jalan paksaan dan kekerasan.
Ciri-ciri demokrasi rakyat (Proletar) menurut M. Carter ialah :
1. adanya dorongan untuk memaksakan persatuan
2. adanya usaha penghapusan oposisi secara terbuka
3. suatu pemimpin yang merasa dirinya paling tahu mengenai cara-cara menjalankan kebijaksanaanpemeerintah, dan yang menjalankan kekuasaan melalui suatu elit yang kekal;
4. negara merupakan suatu alat untuk mencapai komunisme, maka semua alat perlengkapan negara, dan semua perangkat hukum diarahkan untuk mencapai komunisme tersebut.
Sebagaimana di Rusia misalnya, lembaga-lembaga yang disediakan untuk melaksanakan demokrasi rakyat tersebut adalah :
1. Sistem satu partai yaitu partai Komunis.
2. Soviet tertinggi sebagai perwakilan rakyat, secara formal memegang semua kekuasaan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif)
3. Adanya Pemilihan Umum , tetapi dengan sistem calon tunggal untuk setiap kursi calon umum yang telah ditetapkan oleh partai komunis.
IV. DEMOKRASI ALA INDONESIA
Menurut UUD 1945 demokrasi yang berlaku adalah demokrasi dengan sistem presidensial. Akan tetapi tidak persis sama dengan sistem presidensial yang terdapat di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat Presiden tidak bertanggung jawab kepada Badan Perwakilan Rakyat, dalam hal ini congress. Di Indonesia presiden harus bertanggung jawab kepada Badan Perwakilan Rakyat, dalam hal ini MPR. Bahkan MPR dapat memberhentikan presiden dari jabatannya, sebelum masa jabatan berakhir jika pertanggung jawabannya tidak diterima oleh MPR. Di Amerika Serikat hanya congress yang membentuk UU. Di Indonesia undang-undang dibentuk oleh presiden bersama – sama DPR.
Berdasarkan tekanan terhadap unsur kebebasan dan persamaan maka demokrasi di Indonesia memiliki bentuk tersendiri yang di sebut “Demokrasi Pancasila”. Demokrasi ini meliputi bidang – bidang sosial, politik dan ekonomi. Dalam penyelesaian masalah –masalah Nasional, berusaha sejauh mungkin menempuh jalan musyawarah untuk mufakat. Demikian asas demokrasi yang dimaksud sebagai asas pembangunan nasional yang tertera dalam Bab II, Sub C, GBHN 1988 (Tap. MPR No. II/MPR/1988).
Mekanisme yang digunakan untuk menyelenggarakan Demokrasi Pancasila tersebut adalah melalui :
1. Lembaga Negara : MPR, Presiden, DPR,BPK,DPA dan Mahkamah Agung.
2. Pemilihan Umum yang bersifat luber : langsung, umum, bebas, dan rahasia diselenggarakan secara berkala.
3. Pers yang bebas dan bertanggung jawab.
4. Partai politik dan organisasi-organisasi massa dengan satu-satunya asas yaitu Pancasila. [Ilmu Negara, Hal 167-181].
Telaah kritis ata demokrasi
Menyoal Asal Usul Demokrasi
Islam hadir ke dunia sebagai sebuah sistem kehidupan yang sempurna dan paripurna. Keberadaannya menghapus seluruh syariat nabi sebelum Muhammad. Artinya, ajaran Yahudi dan Nasrani, ajaran Zabur, Taurat dan Injil tidak boleh diamalkan lagi. Yang harus diimani dan diamalkan adalah Islam, Al Qur’an dan As Sunah. [Ma Laa Yasa’ul Muslim Jahlahu hal.53]. Karena itu Rasulullah bersabda:
“ Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidak ada seorang pun dari umat ini yang mendengarku (sampai kepadanya dakwah Islam) baik ia itu Yahudi maupun Nasrani kemudian ia mati dan tidak beriman dengan apa yang aku diutus dengannya kecuali ia pasti menjadi penduduk neraka.” [HR. Muslim Kitab Iman Bab Wujubu al Iman bi Risalati Nabiyina Muhammad Ila Jami’in Naas wa Naskhul Milal Bimilatihi no. 153, Shahih Jami’ Shaghir no. 2392/7063, Silsilah Ahadits Shahihah no. 157].
Dari Umar bahwasanya beliau juga bersabda : “ Seandainya Musa hidup dan kalian mengikutinya serta meninggalkanku, kalian pasti tersesat.” [HR. Ahmad 3/471 dan 4/266, hasan].
Bahkan Rasulullah menegaskan bahwa di akhir zaman nanti Nabi Isa akan turun ke bumi untuk memerintah manusia dengan syariat Islam bersama Imam Mahdi dan menghancurkan Salib. [HR. Muslim Kitabul Iman Bab Nuzuli Isa bin Maryam Haakiman Bisyari’ati Muhamad no. 155].
Ini semua menjadi bukti yang kuat bahwa Islam satu-satunya way of life bagi kaum muslimin hingga akhir zaman nanti. Mereka tak memerlukan lagi syariat dan sistem atau way of alife dari luar Islam, termasuk demokrasi. Pertanyaannya, jika Islam menghapus seluruh syariat nabi sebelum Muhammad sehingga di akhir zamanpun Nabi Isa memerintah dengan Al Qur’an dan As Sunah, bukankah Islam lebih menghapus lagi demokrasi yang merupakan perasan otak orang atheis dan musyrik tak mengenal Allah, tak mengenal wahyu, tak mengenal Rasul dan kitab suci ini. Lantas kenapa umat Islam mengikuti Demokrasi, padahal mengikuti Yahudi dan Nasrani yang mempunyai nabi : Musa dan Isa, mempunyai kitab suci dari Allah : Taurat dan Zabur saja tidak boleh, haram dan kafir. Bahkan umat nabi Isa saja bila masih hidup pada zaman nabi Muhammad r harus beriman kepada beliau dan Al Qur’an. Bila tidak berarti kafir dan masuk neraka. Kenapa umat Islam justru mundur ke belakang, ke zaman jahiliyah, zaman ribuan tahun sebelum hadirnya Rasulullah r dan Al Qur’an. Bukankah ini kembali kepada kejahiliyahan dan atheisme, kekufuran. Tidakkah kita sadar Nabi Isa dan Musa kalau masih hidup pada zaman Rasulullah r juga akan masuk Islam, mengamalkan Al Qur’an dan As Sunah, meninggalkan agama Yahudi dan Nasrani, meninggalkan Taurat dan Injil ?
Imam Bukhari dalam kitab shahihnya menulis dalam kitab Al I’tisham sebuah bab yang beliau beri judul Qaulu an Nabi Laa Tasaluu Ahlal Kitab ‘an Syai’ (bab sabda nabi,”Jangan bertanya sesuatupun kepada ahlu kitab”.[Fathul Bari 13/411].
Ibnu Abbas berkata,” Janganlah kalian bertanya kepada ahlul kitab tentang suatu hal,, karena kitab kalian (Al Qur’an) yang diturunkan kepada Rasulullah itu paling baru (paling akhir turunnya), kalian membacanya orisinil tak teracampuri penyelewengan sedikitpun. Kitab itu telah menyebutkan kepada kalian bahwa ahlu kitab telah merubah dan mengganti kitab Allah (Taurat dan Injil) dan mereka menulis dengan tangan mereka sebuah kitab dan mengatakan,” Kitab (buku) ini dari Allah, agar mereka membeli ayat-ayat Allah dengan harga yang murah. Apakah ilmu kalian tidak melarang kalian dari bertanya kepada mereka ? Demi Allah, tidak (jangan bertanya kepada mereka). Kita tak pernah melihat seorang pun dari mereka bertanya kepada kalian tentang apa yang diturunkan kepada kalian (Al Qur’an).” [HR. Bukhari no. 7363].
Ibnu Mas’ud berkata,” Janganlah kalian bertanya kepada ahlul kitab tentang suatu hal, karena mereka sekali-kali tidak akan memberi kalian petunjuk karena mereka sendiri tersesat. (Jika kalian bertanya kepada mereka) kalian akan mendustakan kebenaran dan membenarkan kebatilan.” [HR. Abdu Razzaq 6/112 no. 10162. Al Hafidz Ibnu Hajar berkata,” Sanadnya hasan.” Fathul Bari 13/412].
Umat Islam dilarang bertanya kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani dalam masalah dien. Kenapa ? Karena dien Islam telah sempurna, seluruh persoalan kehidupan manusia telah diatur, baik secara rinci seperti pokok-pokok aqidah, akhlaq dan ibadah maupun menunjukkan rambu-rambu baku yang penjelasan dan prakteknya diserahkan kepada para ulama mujtahid disesuaikan dengan kondisi ruang dan waktu. Politik, ekonomi, milter, sosial budaya, pendidikan, hubungan antara negara dan lain-lain, semuanya telah dibahas oleh Islam, karenanya umat Islam tak perlu dan tak boleh bertanya apalagi mengikuti sistem politik, ekonomi, militer, kepada Yahudi dan Nasrani. Politik, ekonomi, militer dst, semuanya itu termasuk dien, ajaran Islam. Bertanya dan mengikut sistem mereka berarti tidak puas dengan Al Qur’an.
Bila hal ini telah kita pahami, kita akan bisa meyakini sepenuh keyakinan bahwa belajar dan mengikuti produk akal atheis dan musyrikin Yunani Kuno jelas merupakan hal yang diharamkan Islam. Dari sini jelas, sejak dari sumbernya demokrasi dilarang dan haram menurut Islam.
Seperti kita ketahui bersama, demokrasi mencuat lagi ke permukaan setelah adanya revolusi Perancis sebagai reaksi atas kezaliman dan penindasan kaum bangsawan kerajaan dan kalangan gereja. Demokrasi lahir kembali sebagai sikap memberontak atas sistem pemerintahan teokrasi yang mengatas namakan Tuhan/agama Kristen. Demokrasi lahir sebagai sikap menentang agama Nasrani yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan dan kebebasan. Posisi agama Nasrani saat itu bak tuan aatas budaknya, berbuat seenaknya. Dalam kondisi seperti itu, orang-orang kafir Barat tak mempunyai pilihan selain menolak agama dan menempatkan Narsani dan selanjutnya seluruh agama sebagai musuh abadi. Karena itulah demokrasi sejak kelahirannya kembali ini merupakan ideologi sekuler yang lari dari agama. Mereka mengangkat semboyan ” berikan hak Tuhan kepada Tuhan dan hak raja kepada raja.”
Faktor historis ini banyak dilupakan umat Islam yang tertipu dengan demokrasi. Mereka lupa bahwa Islam tidak menerapkan sistem Teokrasi Barat yang memperbudak manusia dengan mengatas namakan agama, tidak pula demokrasi Barat yang bersendikan sekulerisme dan memusuhi agama. Islam mempunyai sistem politik dan pemerintahan sendiri yang bersumber kepada Al Qur’an, As Sunah an Nabawiyah dan Sunah Khulafaur Rasyidin, yang terbukti telah sukses mengatur sebagian besar bagian dunia ini selama tak kurang dari seribu tiga ratus tahun, sejak zaman Rasulullah r sampai era Turki Utsmani.
Ketika Islam menyatakan menolak Teokrasi dan diktatorisme, bukan berarti Islam menerima Demokrasi. Sama sekali tidak demikian, bukan demokrasi, bukan pula Teokrasi, namun Islam berdasar Al Qur’an dan As Sunah. Teokrasi Barat adalah sistem pemerintahan kufur di mana para raja dan pendeta menjadi tuhan-tuhan baru dengan bekal sakti kitab suci yang telah mereka selewengkan. Demokrasi tak kalah jeleknya, karena berintikan sekulerisme. Demokrasi memenjarakan agama di pojok-pojok masjid, agama hanya diberi pengertian hubungan individual dengan Allah semata. Sementara itu seluruh aspek kehidupan manusia mulai dari pendidikan, ekonomi, politik, militer, hukum dan aspek-aspek lainnya tidak boleh dicampuri oleh agama. Semuanya menjadi hak rakyat, lewat wakilnya baik yang bernama Majelis dan Dewan Perwakilan Rakyat serta raja dan kaisar maupun presiden dengan kabinetnya. Ajaib, mereka lebih berkuasa dibandingkan Allah untuk mengatur hitam putihnya kehidupan mereka.
Jelas sudah kekufuran dan kesyirikan demokrasi. Demokrasi tak lain hanyalah wajah politik sekulerisme sebagaimana kapitalisme dan sosialisme hanyalah wajah ekonomi sekulerisme. Keluar dari sistem teokrasi dan diktatorisme menuju sistem demokrasi, tak lain hanyalah pindah dari satu sistem dan ideologi kufur dan syirik menuju sistem dan ideologi kufur dan syirik lainnya. Itu artinya lepas dari mulut singa masuk dalam mulut buaya, tak ada bedanya sama sekali. [lihat Haqiqatu al Dimuqrathiyah hal. 40-42, Al Dimuqrathiyah fil Mizan hal. 31-40].
Pakar demokrasi sendiri mengakui tak ada demokrasi tanpa adanya sekulerisme. Tengok misalnya kajian Samuel Huntington yang menyimpulkan demokratisasi mustahil dilakukan tanpa proses sekulerisasi. Demokrasi membutuhkan satu syarat utama yaitu pemisahan agama dan negara. Demokrasi sangat jarang terdapat di negeri-negeri dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, Hindu, Budha maupun Konfusius. Kenapa demikian? Menurut Huntington agama Kristen Barat menekankan martabat individu dan pemisahan gereja dan negara. Huntington pun menyimpulkan,”Tampaknya masuk akal menghipotesakan bahwa meluasnya agama Kristen mendorong perkembangan Demokrasi.” [Huntington dalam Gelombang Demokratisasi Ketiga hal. 89, dinukil dari Gus Dur Kau Mau Kemana hal. 1-2].
Syubhat :
Sebagian umat Islam yang menerima demokrasi beralasan, mereka mengambil sisi positip dari demokrasi seperti pengakuan HAM, peniadaan diskriminasi dan kebebasan beragama, berpendapat dan lain sebagainya. Adapun nilai negatipnya seperti sekulerisme, hak membuat UU di tangan manusia, penuhanan suara mayoritas dan lain-lain mereka tolak.
Jawab :
Penyataan ini menggelikan sekaligus memprihatinkan. Menggelikan karena menandakan rancunya pemahaman tentang demokrasi itu sendiri, memprihatinkan karena menandakan lemahnya filter iman terhadap serangan Barat sekaligus kekalahan mental di hadapan peradaban Barat.
Demokrasi adalah sistem kufur dan syirik, masihkah kita berharap di dalamnya ada kebaikan ? Pernyataan ini bisa kita analogikan begini. Kristen itu agama samawi namun oleh Allah telah dinyatakan kafir [lihat misalnya QS. Al Maidah:17,72-73], penganutnya kekal di neraka Jahanam dan termasuk seburuk-buruk makhluk di alam raya ini [QS. Al Bayyinah:6]. Kemudian kita dapati kenyataan persaudaraan antara sesama anggota gereja kuat, orang Kristen suka menolong sesama mereka, bahkan menyantuni kaum fakir dan miskin umat Islam, mendirikan balai pendidikan, pengobatan dan latihan kerja gratis bagi kaum muslimin, dan kegiatan sosial lainnya. Lantas apakah kita boleh mengikuti Kristen dengan alasan mengambil ajarannya yang positip dan meninggalkan ajarannya yang negatip ? Apa artinya kegiatan sosial mereka dibandingkan kekufuran dan kesyirikan mereka? Bukankah dengan kufur dan syirik sudah cukup untuk membatalkan kegiatan sosial dan ajaran positif mereka ? Memangnya ada ajaran positif dalam kekufuran ?
Penyataan ini — Naudzu Billahi — secara langsung maupun tidak langsung, sadar maupun tidak sadar berarti telah menuduh Islam dan Rasulullah dengan tuduhan keji. Menuduh Islam tidak sempurna dan masih memerlukan sistem lain selain Al Qur’an dan As Sunah. Menuduh Rasululah tidak menyampaikan seluruh wahyu. Dan ini tentu juga berarti menuduh Allah salah memilih orang menjadi Rasul-Nya, juga menuduh Allah tidak menyempurnakan Islam atau lebih dari itu, –Naudzu Billah—menuduh agama dan syariat Allah tidak sempurna sehingga harus ada filosof Yunani dan kafir Barat yang menyempurnakannya dengan sistem demokrasi. Itu artinya mendustakan ayat-ayat dan hadits-hadits nabawi.
Allah berfirman : “Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian dan teah Kucukupkan kepada kalian nikmat kalian dan telah Kuridhai Islam sebagai agama kalian..” [QS. Al Maidah :3].
Artinya : “ Hai Rasul. sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu. Jika kamu tidak mengerjakannya, berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya…” [QS. Al Maidah : 67].
Dalam Hadits Jabir yang panjang disebutkan,” Dan telah aku tinggalkan atas kalian hal yang kalian tidak akan pernah tersesat bila kalian berpegang teguh dengannya, yaitu kitabullah. Kalian bertanya kepadaku, maka apa yang akan kalian katakan?” Para shahabat menjawab,” Kami bersaksi bahwa anda telah menyampaikan, menunaikan dan memberi nasehat. Maka beliau mengangkat jari telunjuk beliau ke alangit dan berkata,” Ya Allah saksikanlah, Ya Allah saksikanlah 3 kali.” [HR. Muslim Kitabul Haj Bab Hujatu an Nabi no. 1218].
Dalam hadits Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda,”Telah kutinggalkan di antara kalian dua hal. Kalian tidak akan pernah tersesat sesudah keduanya, yaitu kitabullah dan sunahku. Keduanya tak akan pernah berpisah sampai datang kepadaku di haudh nanti.” [Shahih Jami’ Shaghir no.2937, Misykatu al Mashabih no. 186, Silsilah Ahadits Shahihah no. 1761].
Juga dalam hadits Ibnu Abbas ketika berkhutbah di Mina saat Haji Wada’ beliau bersabda,” Wahai Allah, bukankah telah aku sampaikan ? Wahai Allah bukankah telah aku sampaikan ?” [HR. Bukhari kitabul Hajj Bab Al Khutbah Ayyami Mina].
Dalam hadits Abi Bakrah juga dalam hadits tentang khutbah Wada’ di Mina, beliau bersabda,” Bukankah telah aku sampaikan? Mereka menjawab,”Ya.” Beliau bersabda,” Ya Allah, saksikanlah. Hendaklah orang yang menyaksikan memberitahu orang yang tidak hadir. Berapa banyak orang yang disampaikan kepadanya lebih paham dari orang yang mendengar langsung.” [HR. Bukhari kitabul Hajj Bab Al Khutbah Ayyami Mina].
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Harun bin ‘Antarah dari bapaknya bahwasanya ia berkata,” Saya berada di sisi Ibnu Abbas kemudian seorang laki-laki datang dan berkata kepadanya,” Ada orang-orang yang datang yang memberitahu kami bahwa di sisi kalian (anda) ada selain apa yang ada di tangan Rasulullah r (yang beliau sampaikan) kepada manusia.” Maka Ibnu Abbas menjawab,” Apakah kau tidak mengetahui bahwa Allah telah berfirman (artinya),” Hai Rasul. sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu. Jika kamu tidak mengerjakannya, berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya…” [QS. Al Maidah : 67]. Demi Allah Rasulullah r tidak mewariskan untuk kami hitam di atas putih.” [Tafsiru Ibni Katsir 2/80, Tafsiru ad Duru al Mantsur 3/117, sanadnya jayid menurut Imam Ibnu Katsir].
Karenanya ibunda ‘Aisyah berkata dengan keras,” Siapa memberitahu kamu bahwasanya Muhammad menyembunyikan sesuatu dari apa yang diturunkan kepadanya, berarti ia telah berdusta. Allah telah berfirman,” Hai Rasul. sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu. Jika kamu tidak mengerjakannya, berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya…” [QS. Al Maidah : 67].”
Karena itu aqidah Islam menyatakan Rasulullah telah menyampaikan seluruh wahyu yang diturunkan kepada beliau, beliau tak menyembunyikannya meski satu hurufpun. Shahabat Abu Dzar berkata,”Rasulullah tidak meninggalkan seekor burungpun yang membolak-balik sayapnya di langit (udara) kecuali beliau menyebutkan kepada kami ilmunya (keterangannya). Beliau berasabda,” Tak tersisa satu masalahpun ang mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah aku terangkan kepada kalian“ [HR. Ahmad 5/163, Al Mu’jam AL Kabir Thabrani no. 1647, Al Bazzar no. 147, lihat Silsilah Ahadits Shahihah no. 1803]. [Aqidah ini dinyatakan dalam buku-buku aqidah Islam, lihat Ma’ariju al Qabul 3/1108, Syarhu Tsalatsati al Ushul hal 141].
Aqidah Islam juga menyatakan yang disampaikan Rasulullah dari Allah Ta’ala adalah seluruh dien Islam secara mukmal muhkam (sempurna dan pasti), tak ada sedikitpun kekurangan sehingga perlu penambahan dan pelengkap, tidak ada yang musykil (tak bisa dipahami) sehingga perlu diakali dan diperalat agar bisa dipahami. [lihat Ma’ariju al Qabul 3/1110]. Allah berfirman : Artinya : “Tidaklah Kami tinggalkan sesuatupun di dalam Al Kitab ini (Al Qur’an).” [QS. Al An’am :38].
Karena itu Allah menegur dengan keras orang yang tidak puas dengan Al Qur’an dan masih membutuhkan selainnya :
“Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) yang dibaca kepada mereka ? Sesungguhnya dalam Al Qur’an itu ada rahmat yang agung dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman.” [QS. Al Ankabut :51].
Tentunya seorang muslim akan mengimani dan mengamalkan ayat ini. Ia tak perlu lagi sistem selain Al Qur’an dan As Sunah, karena ia hanya akan mendapatkan pelajaran dan rahmat dalam Al Qur’an dan As Sunah saja. Karena itu, Allah sekali lagi menegur dengan keras : Artinya : “ Maka dengan perkataan manalagi sesudah Al Qur’an mereka akan beriman?” [QS. Al Mursalat :50].
Dengan perkataan para filosof Barat, Montesqui si nabi demokrasi, dst ? Inna Lillahi wa Inna Lillahi Raji’un. Alangkah meruginya kita, alangkah rusaknya akidah kita bila demikian itu keadaannya. Shahabat Ibnu Abbas ketika membaca QS. Al Maidah : 3, berkata,” Itulah Islam. Allah memberitahu nabi-Nya dan kaum mukminin bahwasanya Ia telah menyempurnakan syariat iman maka mereka tidak membutuhkan lagi tambahan untuk selama-lamanya. Allah telah menyempurnakannya maka Ia tidak akan menguranginya untuk selama-lamanya, Allah telah meridhainya maka Ia tidak akan membencinya selama-lamanya.” [Tafsiru Ibnu Jarir 6/79, Ad Duuru al Mantsur 3/17].
Dengan sempurnanya agama ini, sempurna pula aturan Allah yang mengatur kehidupan hamba-Nya dunia dan akhirat. Tak perlu lagi ada sistem dan aturan lain. Islam tak memerlukan tambahan, pengurangan maupun revisi. Menurut bahasa orang sekarang, tak ada amandemen atas Islam.[lihat Ma’ariju al Qabul 3/1110-1114].
Bila kita meninggalkan Al Qur’an dan As Sunah atau merasa keduanya belum cukup dan perlu ditambah dengan sistem lain, maka itu artinya kita telah keluar dari jalan yang terang yang ditinggalkan Rasulullah. Tak ada orang yang meninggalkan petunjuk Rasulullah kecuali pasti akan tersesat. Dari Abu Darda’ bahwasanya Rasulullah bersabda,” Demi Allah. Kalian tetah aku tinggalkan di atas jalan yang putih (terang, lurus). Malamnya bagaikan siangnya.” [Shahih Sunan Ibnu Majah no. 5, Silsilah Ahadits Shahihah no.688].
Nampaknya memang umat Islam telah jatuh mental di hadapan peradaban barat yang menggusung sistem demokrasi. Kita kalah dengan orang-orang Yahudi yang memahami betul nilai QS. Al Maidah ayat 3. Dari Thariq bin Syihab ia berkata,”Orang-orang Yahudi berkata kepada Umar,” Kalian membaca ayat (QS. Al Maidah ayat 3) ini, kalau ayat itu diturunkan kepada kami tentulah sudah kami jadikan (hari turunnya) sebagai hari raya. “ Umar menjawab,” Saya benar-benar tahu kapan diturunkan, di mana diturunkan dan di mana Rasulullah ketika ayat ini diturunkan. Hari Arafah, demi Allah, di Arafah. “ Sufyan (perawi) berkata,” Saya ragu apakah hari Jum’at atau bukan (lalu ia membaca ayat),” Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian.” [HR. Bukhari no. 4606, Fathul Bari 8/343].
Bagi orang Yahudi, sempurnanya suatu agama merupakan peristiwa agung, kalau perlu dijadikan hari raya dan hari libur. Kita dilarang menjadikan hal ini sebagai hari raya, yang harus kita lakukan adalah mencukupkan diri dengan mengimani dan mengamalkannya, bukan menambahnya dengan sistem lain di luar Islam, termasuk demokrasi ini.
Dari sini, mustahil secara syar’i dan akal umat Islam menerima demokrasi, meski dengan alasan mengambil sisi positifnya. Tak mungkin umat Islam yang disifati Allah sebagai umat terbaik di antara manusia [QS. Ali Imran :110], dengan agamanya yang sempurna, termasuk mengatur sistem politik, membutuhkan kebaikan dan sistem lain dari umat yang kufur dan syirik. Bukankah aqidah kita mengajari semua nabi mengajarkan seluruh kebaikan dan memperingatkan umatnya dari seluruh kejahatan [lihat Ma’ariju al Qabul 3/1108, Syarhu Tsalatsati al Ushul hal 141]. Sebagaimana riwayat shahabat Abdullah bin Amru bin Ash bahwasanya Rasulullah bersabda,”Tidak ada seorang nabipun sebelumku kecuali menerangkan seluruh kebaikan kepada umatnya dan memperingatkan umatnya dari seluruh kejahatan/keburukan.” [HR. Muslim Kitabul Imarah Bab Wujubul Wafa’ bi Bai’ati al Khalifah al Awal fal Awal no. 4776/1844].
Islam menerangkan segala urusan, mulai dari urusan WC sampai urusan negara. Seorang musyrik bertanya kepada shahabat Salman Al Farisi,”Apakah nabi kalian mengajar kalian sampai masalah adab buang air ?” Shahabat Salman Al Farisi menjawab,” Ya. Beliau melarang kami menghadap kiblat saat buang air besar maupun kecil. Beliau melarang kami beristinja’ (bersuci) dengan batu kurang dari tiga butir, beliau melarang kami beristinja’ dengan tangan kanan dan beliau melarang kami beristinja’ dengan kotoran binatang dan tulang.” [HR. Muslim Kitabul Thaharah bab al Istithabah no. 262]. Apakah mungkin Islam mengatur negara namun tak mempunyai konsep dan sistem yang jelas, sehingga umat Islam harus mengimpor demokrasi ? Tentunya tidak.
Yang bisa dikatakan umat Islam boleh mengambil kebaikan dari orang-orang kafir adalah hal-hal yang berupa penemuan baru seperti kemajuan teknologi dan iptek yang berdasar riset dan penelitian ilmiah, atau hal-hal mubah yang memang dibiarkan Allah dan diserahkan kepada umat Islam agar mereka berijtihad sesuai dengan kondisi tempat dan waktu di mana mereka tinggal. Adapun hal-hal yang ada nash, penjelasan, larangan atau perintah dari Allah dan Rasulullah , maka itulah kebaikan yang harus diamalkan. Di luar itu tidak ada lagi kebaikan, yang ada hanyalah kesesatan dan kemudharatan seperti halnaya dengan demokarasi ini. Wallahu A’lam bish Shawab. [lihat Haqiqatu al Dimuqrathiyah hal. 44-45].
DISKUSI SEBAGIAN ASAS & DASAR DEMOKRASI
Demokrasi mempunyai ciri-ciri khusus yang bila ia hilang, tidak dinamakan demokrasi lagi. Ciri paling pokok adalah :
1. Kekuasaan oleh rakyat.
2. Pengakuan dan jaminan negara terhadap hak-hak dan kebebasan tiap individu.
Demokrasi juga dibangun di atas beberapa dasar dan asas. Insya Allah masing-masing dasar akan kita diskusikan.
ASAS PERTAMA : KEDAULATAN DI TANGAN RAKYAT
Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang mempunyai kewenangan membuat UU, di mana tidak ada kekuasaan yang setara atau lebih tinggi darinya. Ia mempunyai perintah dan larangan tertinggi yang wajib ditaati oleh seluruh komponen lain dalam negara. [Al Hakim wa Ushulul Hukmi hal. 69, dinukil dari Haqiqatu al Dimuqrathiyah hal. 14].
Demokrasi menyatakan pemegang kedaulatan dan kekuasaan tertinggi adalah rakyat. Kedaulatan bersumber dari rakyat dan di tangan rakyat. Rakyatlah penentu tunggal akan ke mana dan apa yang mereka kehendaki. Rakyat yang menentukan apakah ia akan mukmin atau kafir, akan ke barat atau ke timur dst. Inti demokrasi adalah kekuasaan rakyat Tidak ada demokrasi bila kekuasaan bukan di tangan rakyat. Kekuasaan mutlaq berada di tangan manusia. Bila merupakan kehendak rakyat, semua yang haram menurut Al Qur’an dan As Sunah bisa menjadi dalam demokrasi, dilegalkan dan dilindungi UU sedang yang menggugat dengan dasar amar ma’ruf nahi munkar dianggap sebagai tindakan melawan UU. Bila rakyat menghendaki, semua yang halal menurut Al Qur’an dan As Sunah bisa menjadi haram, pelakunya dihukum dan dianggap melawan UU. Yang jelas, semua tindakan yang tidak sesuai dengan UU yang ditetapkan lembaga Legislatif, eksekutif dan Yudikatif dianggap sebagai sebuah kejahatan yang harus dihukum, meskipun itu perintah wahyu.
Dengan demikian yang ditaati dan dijadikan tuhan dari sisi tasyri’, tahlil dan tahrim dalam demokrasi adalah rakyat. Bila semua ini telah kita sepakati, maka bagi seorang muslim tidak akan kesulitan memahami hakikat negara demokrasi tanpa harus terlena oleh slogan-slogan emas yang diteriakkan para pendukung demokrasi. Baik kekuasaan di tangan rakyat atau di tangan sebagian kelompok, baik lewat demokrasi langsung maupun perwakilan, semua kondisi dan bentuk ini dalam Islam sudah jelas nama dan hukumnya, tidak ada keraguan dan kesamaran lagi, yaitu HUKUM KUFUR, SYIRIK dan THAGHUT.
Nash-nash syariat hanya mengenal dua bentuk negara dan pemerintahan:
1. Negara / pemerintah Islam.
2. Negara / pemerintah thaghut.
Dalam negara Isam, kekuasaan tertinggi /kedaulatan berada di tangan Allah Ta’ala Yang Maha Tinggi Maha Agung Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan. Hak membuat UU, menghalalkan, mengharamkan, melarang dan memerintah berada di tangan Allah pencipta langit dan bumi, bukan di tangan manusia baik itu sebagian individu, kelompok dan rakyat, atau bangsa. Ini sudah jelas dalam akidah seorang muslim.
Dalam negara thaghut, kekuasaan tertinggi, hak memerintah, melarang dan membuat UU secara mutlak di tangan manusia atau sebagian di tangan Allah dan sebagian lain di tangan manusia, baik itu individu, kelompok, rakyat atau bangsa. Jelas kalau negara demokrasi adalah negara thaghut.
Padahal iman tidak benar bila tidak ada sikap kufur kepada thaghut. Iman kepada Allah Ta’ala (menerima dan ridha dengan hukum-Nya) tidak bisa bertemu dengan iman kepada thaghut (menerima dan ridha dengan hukum thaghut). Allah menyebutkan kewajiban kufur kepada thaghut bersamaan dengan kewajiban iman kepada Allah ta’ala.” Barang siapa mengkufuri thaghut dan beriman kepada Allah berarti telah berpegang dengan tali yang teguh.” [QS. Al Baqarah : 256].
Allah mendustakan pengakuan orang yang mengaku beriman kepada Allah namun masih mau berhukum dengan thaghut dengan firman-Nya,”Apakah kamu tidak melihat orang-orang yang mengaku mereka beriman dengan apa yang diturunkan kepadamu (Al Qur’an) dan apa yang diturunkan sebelummu, padahal mereka mau berhukum dengan thaghut dan mereka sudah diperintahkan untuk mengkufuri thaghut. Sesungguhnya setan ingin menyesatkan mereka sejauh-jauhnya.” (QS. An Nisa’: 60).
Dari sini jelas sudah, seorang mukmin wajib mengkafiri hukum dan sistem demokrasi dan jelas juga dustanya pengakuan iman orang yang masih menerima dan rela dengan sistem demokrasi. Selamanya tidak akan pernah terkumpul dalam diri seseorang nama muslim dan demokratis. Tidak ada yang menerima atau mengesahkan kedua nama ini terkumpul dalam diri seseorang kecuali :
1. Orang yang tidak paham tentang Islam yang berlandaskan tauhid kepada Allah semata dan peniadaan sekutu dari-Nya. atau
2. Orang yang tidak paham tentang kesyirikan dan kekufuran demokrasi.[lihat Haqiqatu al Dimuqrathiyah hal. 14-20].
Bila kita meninjau kembali definisi demokrasi, minimal ada dua hal yang perlu digaris bawahi:
a. Demokrasi berarti menjauhkan dan membuang hak dan kedaulatan Allah, di mana manusia baru mempunyai kedaulatan itu setelah mendapat izin-Nya. Jelas ini bertentangan dengan Islam seperti telah kita jelaskan di atas.
b. Sistem demokrasi sejak awal tidak mengakui hukum-hukum syariat dan tidak mengakui wajibnya menerapkan hukum syariat. Hukum syariat adalah hukum-hukum yang ditetapkan Allah, Rasulullah dan hasil ijtihad para mujtahid yang berijtihad dalam hal-hal yang diizinkan oleh Allah. Hukum yang berlaku hanyalah UU yang ditetapkan lembaga Legislatif, eksekutif dan Yudikatif yang merupakan representasi dari keinginan dan kehendak rakyat sebagai penegang kedaulatan.
Dari sini jelas sistem demokrasi bertentangan dengan Islam karena Islam mewajibkan pelaksanaan hukum-hukum syariah yang telah ada nashnya secara qath’i atau nash yang dhani yang disepakati oleh mayoritas ulama mujtahidin. Baru setelah itu sekelompok umat Islam (ulama) yang mempunyai kemampuan diberi kewenangan untuk membuat peraturan dan UU yang bersifat managerial/administratif yang dipandang baik dan bermanfaat bagi rakyat dengan syarat tidak bertentangan dengan hukum syar’i. Dengan definisinya, demokrasi berarti telah meminggirkan dien secara total dari seluruh persoalan pemerintahan dan UU. Ini sekali lagi menegaskan bahwa demokrasi adalah sistem politik dari agama sekulerisme. [Kawasifu Zayuf karya Syaikh Abdurahman Habnakah al Maidany hal. 694-695, dinukil dari Haqiqatu al Dimuqrathiyah hal. 21].
Teori kedaulatan yang merupakan inti demokrasi tak mungkin lahir kecuali dari asas ilhad kufri (atheisme). Hal ini bisa dijelaskan sebagai berikut :
Teori ini muncul pertama kali di Barat yang beragama Kristen (Nashara), di mana para penguasa berlaku dzalim dan memerintah dengan tangan besi dengan mengatas namakan kekuasaan Tuhan. Gereja bukannya melawan kedzaliman ini atau minimal menguranginya, namun justru ikut memasung kemerdekaan mereka. Gereja tak lain adalah patner para penguasa. Orang-orang yang melawan kedzaliman ini akhirnya mengumandangkan slogan kekuasaan di tangan rakyat sebagai ganti kekuasaan di tangan para penguasa /raja. Kedua-duanya berangkat dari teori yang tak berlandaskan wahyu. Para penguasa memegang teori wakil Tuhan, sedang para oposan memegang teori kontrak sosial.
Menurut teori kontrak sosial, pada asalnya manusia adalah makhluk yang hidup berai tanpa aturan dan negara. Padahal tanpa adanya aturan yang disepakati, kehidupan mereka akan kacau balau. Karena itu mereka berkumpul dan bersepakat mengangkat pemimpin yang mereka sukai, membuat peraturan bersama yang mereka sukai dan mereka sepakati. Dengan demikian, seluruh peraturan dan pemimpin yang mengendalikan kehidupan mereka adalah wujud dari keinginan bersama/rakyat. Rakyat adalah raja di atas segala-galanya, kehendaknya menjadi UU yang wajib ditaati.
Teori ini jelas-jelas kufur dan atheis, berangkat dari keyakinan seakan-akan mereka ada dengan sendirinya tanpa ada Sang Pencipta (Allah Ta’ala) yang menciptakan sehingga mereka bebas mengatur diri mereka endiri tanpa ada ikatan sedikitpun dengan aturan Allah Ta’ala. Atau mereka mengetahui adanya Allah Ta’ala namun mereka meyakini-Nya sebagai pencipta semata. Adapun Allah Ta’ala mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab suci untuk mengatur kehidupan mereka, mereka sama sekali tidak meyakini, tidak peduli. Ya, kalau mereka yakin dan peduli tentunya mereka tak memerlukan kotrak sosial lagi.
Ini tentu bertentangan seratus persen dengan ayat-ayat Al Qur’an dan As Sunah yang menegaskan Allah menciptakan Adam dan Hawa, menurunkan mereka berdua ke dunia, menurunkan syariah yang mengatur kehidupan dunia mereka, mengutus para nabi dan rasul untuk membimbing kehidupan manusia. Tentunya tak perlu heran lagi bila dari sumber yang penuh dengan kekufuran dan atheis serta sekulerisme ini keluar berbagai produk kufur dan syirik, seperti memberikan hak tasyri’ kepada manusia apapun bentuknya (rakyat, MPR/DPR dll).
Karena itu kita sangat memprihatinkan bila saat ini masih saja ada sebagian ulama Islam yang menyatakan demokrasi sesuai dengan Islam, karena tak mungkin rakyat memilih pemimpin yang tak mereka sukai, mereka lalu menganalogikannya dengan sholat Jama’ah. Imam yang tidak disenangi makmum dilarang menjadi imam.
Persoalan demokrasi bukan sekedar persoalan siapa yang memimpin, namun lebih dari itu adalah penyerobotan hak tasyri’ yang merupakan hak uluhiyah Allah semata. Ayat-ayat Al Qur’an dengan tegas menolak konsep kedaulatan di tanagn rakyat, hak memabuat UU /tasyri’ di tangan rakyat ini :
“ Hukum itu hanya hak Allah semata. Dia telah memerintahkan kalian untuk beribadah kecuali kepada-Nya.” [QS. Yusuf : 40].
Mentaati UU buatan Allah adalah ibadah kepada Allah, merealisasikan rububiyah dan uluhiyah Allah. Mentaati UU buatan wakil rakyat berarti ibadah kepada wakil rakyat, berarti menyematkan rububiyah dan uluhiyah kepada wakil rakyat.
“ Dan apa yang kalian perselisihkan maka kembalianya kepada Allah.” [QS. Ay Syura ; 10]. Bukan kepada keputusan lembaga legislatif, lembaga eksekutif, lembaga yudikatif maupun produk hukum mereka, bukan pula kepada kehendak bangsa dan negara.
“ Apakah mereka masih mencari hukum jahiliyah ? Siapakah yang lebih baik hukumnya mlebihi Allah bagi kaum yang yakin.” QS. Al Maidah : 50].
“ Maka patutkah aku mencari hakim selain Allah padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Qur’an kepadaku dengan terperinci.” [QS. Al An’am :114].
“ Apakah mereka mempunyai sembahan-semabahan lain selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka dien yang tidak diizinkan Allah?” [QS. Asy Syura : 21]. Allah menyebut pihak selain Allah siapapun dia [baik lembaga legislatif / MPR / DPR / Parlemen / lembagaYudikatif / lembaga eksekutif] yang menelurkan peraturan-peraturan yang bersumber dari akal semata dan menyelisihi Al Qur’an dan As Sunah sebagai sembahan selain Allah dan tandingan bagi Allah. Jelaslah, wakil-wakial rakyat dalam demokrasi adalah tuhan-tuhan baru (arbab min dunillah).
“ Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhat-hatilah kamu jangan sampai mereka memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” [QS. Al Maidah :49]. Bukan dengan keputusan dan UU buatan ketiga lembaga dalam sistem demokrasi tadi.
“ Mereka menjadikan orang-orang alim mereka (Yahudi) dan ahli-ahliibadah mereka (Nashara) sebagai tuhan-tuhan selain Allah.” [QS. At Taubah : 31]. Sebagaimana disebutkan dalam hadits shahabat Adi bin Hatim, ibadah dan menyembah pendeta bukan dengan sujud, ruku’, sholat, do’a, zakat, berkurban dst. Tapi dengan mentaati peraturan dan UU mereka yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Begitu juga menyembah dan beribadah kepada lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif adalah dengan mentaati UU buatan mereka yang semuanya murni dari akal dan hawa nafsu, bertentangan dengan nash-nash Al Qur’an dan As Sunah dan menghalalkan yang haram dalam Al Qur’an dan As Sunah dan mengharamkan hal yang halal dalam Al Qur’an dan As Sunah.
“ Wahai ahlu kitab, marilah kepada satu kalimat, antara kami dan kalian sama (yaitu untuk) tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun dan sebagian kita tidak mengambil sebagian lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah.” Kalau mereka berapaling maka katakanlah,” Saksikanlah bahwa kami orang-orang Islam.” [QS. Ali Imran : 64]. Maknanya, hendaklah perkumpulan dan kesepakatan antara kita dengan Yahudi dan Nasrani diabangun di atas satu dasar ayaitu tauhidullah, beribadah dan ta’at kepada Allah semata, berhukum kepada-Nya semata, tidak menjadikan manusia (makhluk) sebagai tuhan yang ditaati . Kepada Allah semata kiata mengembalikan seluruh urusan dan perselisihan, kita mengakui hak Allah dalam masalah hukum, tasyri’, tahlil dan tahrim. Dengan demikian kita menjadikan Allah sebagai Rabb (tuhan) kita.
Panggilan dan ajakan ini terkhusus untuk Yahudi dan Nasrani karena mereka sudah dikenal sebagaikaum penyembah pendeta dan pastur dan menjadikan pendeta dan pastur sebagai tuhan-tuhan selain Allah dari sisi tasyri’, tahlil dan tahrim. Sudah jelas bahwa dalam alam demokrasi, masyarakat menjadikan sebagian mereka sebagai tuhan bagi sebagian yang alain. Mereka lari dari menyembah pendeta dan pastur menuju penyembahan pendeta dan pastur lain yang berwujud MPR/DPR/Parlemen. Mereka mengakui hak tasyri’, tahlil dan tahrim, membuat UU bagi wakil-wakil rakyat yang semestinya menjadi hak Allah semata. Rakyat harus mentaati segala UU yang mereka tetapkan.
Malang sekali mereka ini. Mereka mengira sudah merdeka dan hidup dalam alam kebebasan, pemegang kekuasaan dan berdaulat penuh menentukan hidupnya, padahal sesungguhnya mereka diperbudak oleh tuhan-tuhan baru ini, mereka menjadi hamba bagi tuhan yang banyak dan berserikat..Sungguh benarlah apa yang dinyatakan Asy Syahid Sayyid Qutb,” Sesungguhnya manusia dalam perundang-undangan bumi sebagian mereka menjadikan sebagian lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Baik mereka di puncak demokrasi maupun di jurang diktatorisme, keduanya sama saja…..” [Fi Dzilalil Qur’an 1/407, dinukil dari Hukml Islam fiAl Dimuqrathiyah hal. 29].
Dr. Muhammad Husain dalam bukunya “ Azmatul Ashri ” menyatakan,”Hakimiyah dalam Islam milik Allah semata, Kitabullah dan Sunah rasul-Nya menjadi sumber hukum. Sebaliknya, umat atau rakyat lewat wakilnya menjadi sumber hukum dalam alam demokrasi. Dalam Islam, umat diatur dengan tasyri’ Allah Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui, sedang dalam demokrassi diatur dengan UU yang terbit dari syahwat dan kepentingan manusia. Dala Islam, hukumhukum selalu tetap sedang dalam demokrasi selalu berubah-ubah dan tidak tetap.” [Hukml Islam fi Al Dimuqrathiyah hal. 30].
Dalam alam demokrasi, manusia hanya menjadi kelinci percobaan semata. Sebuah UU dikeluarkan, dijalankan dan ketika tidak sesuai akhirnya diganti. Dibuat lagi peraturan dan UU baru, diuji cobakan lagi. Selang beberapa waktu, terjadi perubahan kondisi sehingga peraturan harus diamandemen. Dibuat UU baru lagi, diujicobakan lagi, gagal lagi. Kemudian datang pemilu, wakil rakyat berganti maka UU ikut berganti pula. Diujicobakan, begitu seterusnya. Bongkar pasang UU sudah menjadi hal yang biasa, akibatnya rakyat “ sebagai pemegang kedaulatan tertinggi “pula yang menjadi korbannya. Wallahu A’lam Bish Shawab.
Refferensi :
1. Abu Bashir Abdul Mun’im Musthafa Halimah, Hukmu al Islam fi al Dimuqrathiyah wa al Ta’adudiyah al Hizbiyah, Al Markazu al Dauli li al Dirasat al Islamiyah, London, cet. 2, 1420 H.
2. Muhammad Syakir Syarif, Haqiqatu al Dimuqrathiyah, Darul Wathan, Riyadh, cet. 1, 1412 H.
3. Sa’id Abdul Adzim, Al Dimuqrathiyah fi al Mizan, Darul Furqan, Kairo.
4. Abdul Ghani ibn Muhammad Ibn Ibrohim Ibn Abdul Akrim Ar Rahhal, Al Islamiyyun wa Syarabu al Dimuqrathiyah, Muasasah al Mu’taman, cet.1, 1413 H.
5. Ibnu Hajar, Fathul Bari Syarhu Shahih Bukhari, Darul Kutub al Ilmiyah,Beirut, cet.1, 1410 H.
6. Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabau Dahlan, Bandung.
7. Imam Ahmad, Musnad Ahmad, Daru Salam, Riyadh.
8. Hafidz bin Ahmad Hakamy, Ma’ariju al Qabul.
9. Muhammad Sholih Utsaimin, Syarhu Tsalatau al Ushul, Daru a l Tsuraya, Riyadh, cet. 3, 1417 H.
10. Muhammad Nashirudin Al Albani, Silsilatu al Ahadits Al Shahihah, Maktabatu al Ma’arif, Riyadh, 1415 H.
11. Muhammad Nashirudin Al Albani, Shahih al Jami’ al Shaghir, Al Maktabu al Islamy, cet. 3, 1410 H.
12. Adian Husaini Gus Dur Kau Mau Ke Mana,, DEA Press, Jakarta.
13. Abdul Majid Ibn Mahmud Ar Reimy, 50 indikasi destruktif Demokrasi, Pemilu dan Partai, Pustaka Al Hars, Lampung, Cet. 2, Maret 1999 M.
14. Majalah Suara Hidayatullah, 03/XII/Juli 1999 M.
15. Ilmu Negara, Buku Panduan Mahasiswa, Max Boli Sabon, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Cet. I, 1992 M.
16. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial, terjm. Penerjemah : Lukman Hakim, Tiara Wacana Yogya, cet. I, Mei 1992 M.
17. Pius A Partanto-M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, penerbit Arkola- Surabaya.
I. DEFINISI
Islam akan hancur bilamana umatnya tidak mengerti jahiliyah. Demikian kata shahabat Umar. Supaya gambaran demokrasi bisa dipahami dengan baik, di bawah ini kita ketengahkan sekilas tentang demokrasi.
a. Secara Etimologi
Kata Demokrasi merupakan gabungan kata dari dua lafadz dalam bahasa Yunani, yaitu Demos dan Kratos/cratein. Demos berarti rakyat sedangkan Kratos berarti kekuasaan. Jadi demokrasi adalah “Pemerintahan oleh Rakyat.” [Ilmu Negara hal 167]. Dalam kamus Ilmiah Populer disebutkan, Demokrasi adalah kerakyatan; pemerintahan atas asas kerakyatan ; pemerinyahan rakyat (dengan perwakilan ).
b. Secara terminologi
Diketahui dari ucapan Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat ( democracy is government of the people, by the people, and for the people). [Ilmu Negara, hal 167].
Maknanya sebagaimana diterangkan oleh Ust. Sa’id Abdul Adhim bahwa demokrasi adalah pemerintahan yang mana sistem pelaksanaannya (mekanisme penyelenggaraan negara) dan syari’at serta hukum–hukumnya merupakan hasil dari suara rakyat dan ditetapkan untuk rakyat pula”[ Ad Dimukratiyyah Fi Al Mizan, hal 31].
II. SEJARAH DEMOKRASI
Konsep demokrasi memang muncul dari dunia Barat, tepatnya pada masyarakat Yunani kuno, ketika salah seorang negarawannya yang bernama Pericles mencetuskan konsep itu pada tahun 431 SM. Ia mendefinisikan demokrasi dengan mengemukakan beberapa kriteria : Pemerintahan oleh rakyat dengan partisipasi rakyat yang penuh dan langsung, kesamaan di depan hukum serta menghargai pluralisme.
Disamping itu, ada sejumlah filosof terkemuka lain yang memberikan sumbangan konsep demokrasi seperti Plato, Aristoteles, Polybius dan Cicero. Tentu tak semua mendukung. Socrates misalnya, menolak konsep demokrasi. Ia lebih setuju konsep meritokrasi yang memberikan kekuasaan kepada orang –orang yang cakap memimpin, ketimbang konsep demokrasi yang memberikan kekuasaan kepada sembarang orang.
Konsep demokrasi masa itupun hanya laku di Yunani dan Romawi. Di berbagai negeri Eropa lainnya masih berlaku sistem monarki absolut yang diwariskan berabad-abad. Kedaulatan sepenuhnya ada di tangan raja dan kaisar yang dipercaya sebagai wakil tuhan di muka bumi.
Setelah itu kekuasaan di Eropa diwarnai dengan konsep Teokrasi, sejak agama Kristen merambah dunia itu dan lembaga Gereja melakukan dominasi tak terhingga dan menegakkan hukum-hukumnya sendiri atas nama Tuhan, dan pada akhirnya memaksakan keIlahian dan ketuhanan mereka sendiri atas rakyat.
Konsep demokrasi mulai marak kembali 17 abad kemudian di masa Renaissance, ditandai dengan kehadiran pemikiran filosof Niccolas Macchiaveli (1467 – 1527), Thomas Hobbes (1588 – 1679), John Locke (1632–1704), Montesqieu (1689 – 1755) dan Jean Jacques Rousseau (1712 – 1778), sebagai reaksi atas keotoriteran monarki dan gereja.
Era sesudah itu konsep demokrasi semakin berkembang, utamanya setelah Revolusi Perancis, Revolusi Industri di Inggris dan Revolusi Amerika, kemudian menjalar ke berbagai negara termasuk di Asia dan Afrika, sejalan dengan perolehan kemerdekaan negara-negara di dua benua itu.
Selama perkembangannya, demokrasi mengalami berbagai penafsiran, hingga terdapat berbagai versi demokrasi, seperti demokrasi konstitusional, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila, demokrasi Islam, demokrasi rakyat, hingga demokrasi komunis yang sejatinya otoriter.
Dimasa depan, boleh jadi madzhabnya akan bertambah banyak, atau malah akan tergantikan sama sekali oleh sebuah sistem baru. [Suara Hidayatullah-03/XII/Juli 1999, hal 52-53].
Padmo Wahjono menulis macam-macam demokrasi sebagai berikut : demokrasi Barat (Liberal), demokrasi Timur (demokrasi Rakyat/Proletar), demokrasi Tengah, demokrasi sederhana. M. Solly Lubis, menulis macam-macam demokrasi adalah : demokrasi Barat dan demokrasi Rusia, demokrasi yang representatif dengan sistem pemisahan kekuasaan dan demokrasi yang representatif dengan sistem referendum.
Kriteria yang digunakan untuk membuat klasifikasi jenis-jenis demokrasi tersebut antara lain berdasarkan sifat hubungan antara badan legislatif dengan badan eksekutif sesuai dengan ajaran Montesquieu yang kemudian terkenal dengan istilah Trias Politica.
Montesquieu dalam ajaran Trias Politica membedakan adanya tiga jenis kekuasaan dalam negara, yaitu :
a) kekuasaan yang bersifat mengatur, atau menentukan peraturan.
b) kekuasaan yang bersifat melaksanakan peraturan dan
c) kekuasaan yang bersifat mengawasi pelaksanaan peraturan tersebut.
Ketiga jenis kekuasaan itu harus didistribusikan kepada beberapa organ, dan tiap organ hanya memegang satu kekuasaan saja, yaitu :
a) kekuasaan yang bersifat mengatur adalah kekuasaan perundang-undanganan diserahkan kepada organ legislatif
b) kekuasaan yang bersifat melaksanakan peraturan diserahkan kepada organ eksekutif
c) kekuasaan yang bersifat mengawasi pelaksanaan peraturan diserahkan kepada organ yudikatif
Meskipun demikian, dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan penafsiran mengenai ajaran Montesquieu tersebut, khususnya penafsiran mengenai hubungan antara organ yang satu dengan lainnya. Tiga macam perbedaan penafsiran yang dikemukakan oleh Soehino sebagai berikut :
Di Amerika Serikat : ajaran Montesquieu tersebut ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan yang tegas bahkan juga pemisahan organ-organnya. Penafsiran ini kemudian menimbulkan sistem Pemerintahan Presidensial.
Di Eropa Barat khususnya Inggris menafsirkan bahwa antara organ yang satu dengan organ lainnya terdapat hubungan timbal balik, seperti legislatif dengan eksekutif. Penafsiran demikian berhasil menciptakan suatu sistem pemerintahan yang disebut : Sistem Parlementer;
Di Swiss ditafsirkan bahwa badan eksekutif hanyalah sebagai badan pelaksana dari apa yang telah digariskan oleh badan legislatif. Sistem demokrasi yang dilaksanakan di Swiss tersebut yang kemudian dikenal dengan nama Sistem Referendum.
Akibat dari perbedaan penafsiran tersebut maka dikenal tipga tipe demokrasi modern, yaitu :
a) Demokrasi atau pemerintahan perwakilan rakyat yang representatif dengan sistem pemisahan kekuasaan secara tegas atau sistem presidensial.
b) Demokrasi atau pemerintahan perwakilan rakyat yang representatif, dengan sistem pemisahan kekuasaan namun pada badan yang diserahi kekuasaan khususnya legislatif dan eksekutif, terdapat hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi atau sistem parlementer
c) Demokrasi atau pemerintahan perwakilan rakyat yang representatif dengan sistem pemisahan kekuasaan dan dengan kontrol yang secara langsung dari rakyat, disebut sistem referendum atau sistem badan pekerja. [Ilmu Negara, hal 168-170].
Demokrasi mempunyai dua prinsip pokok yaitu :
1. Liberalisme.
2. Kapitalisme. [Ad Dimukratiyah Fi Al Mizan, hal 31].
III. KLASIFIKASI DEMOKRASI DI TINJAU DARI SEGI ; TAHAPAN, BENTUK ISI SERTA JENISNYA
1. Tahapan Demokrasi
Menurut tahapannya dikenal dua tahapan demokrasi, yaitu :
a) demokrasi langsung
b) demokrasi tidak langsung.
Dalam demokrasi langsung berarti rakyat ikut secara langsung dalam menentukan policy pemerintahan. Hal ini terjadi pada tipe-tipe negara – negara kota waktu zaman Yunani Kuno, rakyat berkumpul pada tempat tertentu untuk membicarakan berbagai masalah kenegaraan. Pada masa modern ini cara demikian tentu tidak mungkin lagi karena selain negaranya semakin luas dan meliputi banyak warganya, urusan – urusan kenegaraannya pun semakin kompleks. Jadi rakyat tidak lagi ikut dalam urusan pemerintahan secara langsung melainkan melalui wakil – wakil yang ditentukan dalam suatu pemilihan umum ( Pemilu ). Hal ini yang disebut demokrasi tidak langsung.
Bentuk ( Method of decision making)
2. Bentuk Demokrasi
Pengertian demokrasi dari segi bentuknya, maka bisa diartikan demokrasi adalah pemerintahan yang dilakukan oleh orang banyak. Demokrasi dari sudut bentuknya disebut demokrasi formal.
3. Isi Demokrasi
Pengertian demokrasi dari segi isinya, maka demokrasi adalah pemerintahan yang dilakukan untuk kepentingan orang banyak. Demokrasi dari sudut isinya disebut demokrasi material. [Ilmu Negara, hal 167-168].
4. Jenis – Jenis Demokrasi Modern
a) Demokrasi Modern dengan sistem Presidental
Dalam sistem ini terdapat pemisahan yang tegas antara fungsi legislatif dan fungsi eksekutif. Juga pemisahan tegas antara badan legislatif dengan badan eksekutif. Badan legislatif sebagai badan yang memegang kuasa perundang– undangan adalah Badan Perwakilan Rakyat. Dengan adanya pemisahan demikian maka secara prinsipil badan – badan tersebut bebas dari pengaruh yang satu terhadap yang lain.
Amerika Serikat, yang menganut sistem pemisahan kekuasaan. Badan legislatifnya adalah congress, yang terdiri atas senat (senate) dan Badan Perwakilan Rakyat ( House of Representatives ) yang bekerja sama secara bikameral dalam pembuatan undang – undang termasuk UUD. Senat adalah wakil dari negara – negara bagian. Tiap negara bagian mempunyai dua orang wakil sebagai senator, sedangkan dalam badan perwakilan rakyat masing-masing negara bagian diwakili oleh sejumlah wakil yang banyak berdasarkan jumlah penduduk negara bagian yang bersangkutan. Sejak tahun 1913 baik senat maupun badan perwakilan rakyat, anggota-anggotanya dipilih oleh para pemilih dimasing-masing negara tersebut dalam pemilihan umum.
Susunan dari badan eksekutif terdiri atas seorang presiden sebagai kepala pemerintah, dibantu oleh seorang wakil presiden. Dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari, presiden dibantu pula oleh lembaga legislatif, para menteri tidak dapat diberhentikan oleh badan perwakilan rakyat. Para menteri tidak mempunya hubungan pertanggung jawaban dengan badan perwakilan rakyat. Yang bertanggung jawab atas tugas-tugas yang dijalankan oleh para menteri adalah presiden sebagai pemberi tugas tersebut. Presiden juga tidak dapat dijatuhkan oleh badan perwakilan rakyat sehubungan dengan tindakan politik negara yang menyimpang selama masa jabatannya kecuali jika presiden melakukan kejahatan-kejahatan dalam empeachment.
b) Demokrasi Modern dengan sistem Parlementer.
Dalam system ini terdapat hubungan yang erat antara badan eksekutif dan badan legislatif, atau parlemen, atau badan perwakilan rakyat. Kekuasaan eksekutif diserahkan kepada suatu badan yang disebut kabinet atau dewan menteri. Kabinet ini yang bertanggung jawab kepada parlemen. Jika pertanggung jawaban itu tidak dapat diterima oleh parlemen, maka parlemen dapat menyatakan tidak percaya (mosi tidak percaya) terhadap kebijaksanaan kabinet. Untuk itu kabinet harus mengundurkan diri. Dengan demikian, maka titik berat kekuasaan ada di tangan parlemen.
Akan tetapi ada kalanya pula bahwa penilaian parlemen terhadap kebijaksanaan kabinet tersebut, berbeda/bertolak belakang dengan penilaian rakyat sendiri. Jika terjadi keadaan demikian, maka parlemen sudah tidak menyuarakan kehendak rakyat lagi atau sudah tidak representatif lagi. Guna menghindari hal itu maka kepala negara mempunyai hak untuk membubarkan parlemen. Jika parlemen bubar maka diadakan pemilihan umum baru.
Seandainya badan perwakilan rakyat hasil pemilihan umum yang baru ini pun tidak dapat menerima pertanggung jawaban tersebut, maka kabinet harus mundur. Hal ini berarti badan perwakilan rakyat yang mengajukan mosi tidak percaya adalah benar badan perwakilan rakyat yang representatif sebaliknya tindakan kepala negara dalam membubarkan badan perwakilan rakyat sebelumnya adalh tindakan yang tepat. Keadaan ini akan berlaku sebaliknya jika badan perwakilan rakyat hasil pemilu yang baru ini dapat menerima pertanggung jawaban kabinet.
Dalam sistem parlementer, kepala negara tidaklah merupakan pimpinan yang nyata, melainkan sekedar lambang. Yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kekuasaan pemerintahan negara adalah : kabinet baik para menteri secara perorangan maupun secara bersama-sama untuk seluruh kabinet. Bahkan jika kepala negara atau raja yang bersalah yang bertanggung jawab adalah menteri.
Berdasarkan hal itu maka kebijaksanaan pemerintah dan negara ditentukan oleh kabinet, akan tetapi keputusan yang dikeluarkan dalam pelaksanaan kebijakan tersebut haruslah merupakan peraturan negara, ditandatangani oleh kepala negara. Untuk menunjukkan bahwa terhadap peraturan yang bersangkutan menteri yang bersangkutan pula yang bertanggung jawab atau tanggung jawab perdana menteri atas nama seluruh anggota kabinet, maka menteri yang bersangkutan atau perdana menteri turut menandatangani keputusan atau peraturan yang bersangkutan. Turut menandatangani tersebut lazimnya disebut Contrasign.
Menurut sejarahnya sistem parlementer ini bErasal dari Inggris . sistem ini dimulai dengan adanya asas The King Can Do No Wrong ( raja tidak dapat berbuat salah) hal ini tidaklah berarti bahwa raja sama sekali tidak pernah berbuat kesalahan atau kekeliruan justru para menteri yang dipersalahkan. Hal ini berhubungan dengan contrasign kabinet diatas. Jadi atas kesalahan raja, yang bertanggung jawab adalah menteri yang bersangkutan atau kabinet secara keseluruhan. Sebagai asas itu maka muncul sistem parlementer dengan pertanggung jawaban menteri/kabinet kepada parlemen.
c) Demokrasi Modern dengan sistem Referendum.
Sistem Referendum terdapat di Swiss. Badan eksekutifnya merupakan dewan yang disebut Bundesrat. Dewan tersebut adalah bagian dari badan legislatif yang disebut bundesversammlung yang terdiri atas Nationalrat dan Stadenrat.
Nationalrat adalah badan perwakilan Nasional, sedangkan Stadenrat adalah perwakilan dari negara – negara bagian. Negara-negara bagian itu sendiri disebut Kanton.
Mekanisme pelaksanaan pemerintah adalah sebagai berikut : mula – mula yang terbentuk adalah Bundesversammlung yang terdiri atas Nationalrat dan standerat. Nationalrat dipilih secara langsung oleh rakyat melalui suatu pemilihan umum. Masa jabatan Nationalrat adalah 4 tahun. Selain itu setiap Kanton mengirimkan dua orang wakil untuk duduk dalam standerat. Cara pemilihan dan masa jabatan masing-masing anggota standerat ditentukan oleh kanton masing-masing. Setelah Bundesversammlung terbentuk, maka badan itulah berfungsi sebagai badan legislatif yang membuat UU, termasuk UUD.
Setelah UUD terbentuk, lalu bundesversammlung memilih 7 orang anggotanya untuk duduk dalam Bundesrat guna melaksanakan UU tersebut. Sebelum UU itu dilaksanakan, dimintakan terlebih dahulu pendapat rakyat melalui referendum. Ada tiga bentuk referendum, yaitu:
1. Referendum obligatoir (wajib) yaitu untuk berlakunya suatu undang-undang yang terpenting atau UUD, atau UU lain yang menyangkut hak rakyat, Bundesrat harus meminta pendapat rakyat terlebih dahulu dengan mengisi formulir. Jika lebih banyak suara yang menyetujui UU dapat berlaku, demikian juga sebaliknya.
2. Referendum fakultatif (tidak wajib) yaitu terhadap UU trtentu Bundesrat tidak langsung meminta pendapat rakyat, melainkan diumumkan saja untuk jangka waktu tertentu. Jika dalam kurun tertentu tidak ada reaksi dari sejumlah orang tertentu maka UU itu langsung mampunyai kekuatan mengikat , sebaliknya jika sebagian besar rakyat mengajukan keberatannya agar diadakan referendum, maka terhadap UU yang bersangkutan dimintakan pendapat rakyat terlebih dahulu sebelum diberlakukan
3. Referendum consultatif yaitu referndeum mengenai soal-soal teknis yang biasanya wakil rakyat sendiri kurang mengerti tentang materi UU yang dimintakan persetujuannya.
Klasifikasi jenis-jenis demokrasi tersebut diatas adalah klasifikasi berdasarkan penafsiran terhadap pandangan Montesquieu mengenai pemisahan kekuasaan dalam teori Trias Politica. Demokrasi baik dalam arti formal maupun dalam arti material, kedua-duanya mengandung unsur kebebasan dan persamaan. Antara kedua unsur tersebut ternyata semua negara di dunia ini tidak memberikan tekanan yang sama. Ada negara yang lebih menekankan pada unsur kebebasannya sebaliknya ada negara yang lebih menekankan soal persamaannya.
Bertalian dengan hal tersebut, Moh. Koesnardi dan Bintan R. Saragih, menulis bahwa ada dua paham yang penting, yaitu : demokrasi konstitusional dan demokrasi rakyat, dan ditambah lagi aliran ketiga, yaitu demokrasi Pancasila.
a. Demokrasi Modern dengan sistem Konstitusional.
Demokrasi Konstitusional atau sering disebut Demokrasi Liberal ialah demokrasi yang didasarkan pada kebebasan atau individualistis. Salah seorang pelopor aliran ini adalah Hans Kelsen. Ia berpendapat bahwa juika suatu negara tidak menjamin kebebasan warganya, maka negara tersebut bukanlah negara demokrasi. Untuk menjam,in kebebasan warganya, kekuasaan pemerintah harus dibatasi. Pembatasan klekuasaan pemerintah ditetapkan melalui konstitusi. Maka demokrasi ini disebut pula Demokrasi Konstitusional.
Ciri-ciri demokrasi konstitusional menurut Henry B. Mayo :
1. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga.
2. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berkembang.
3. Menyelenggarakan pergantian pemimpin secara teratur.
4. Membatasi penggunaan kekerasan sampai tingkat minimal.
5. Mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragam.
6. Menjamin tegaknya keadilan.
Lembaga-lembaga yang disediakan untuk melaksanakan demokrasi tersebut adalah :
1. Pemerintah yang bertanggung jawab.
2. Suatu badan perwakilan rakyat yang mewakili golongan – golongan dan kepentingan – kepentingan dalam masyarakat. Yang dipilih melalui suatu pemilihan umum yang bebas dan rahasia, terhadap calon yang lebih dari satu, memungkinkan oposisi yang membangun dan penilaian terhadap kebijaksanaan pemerintah secara kontinu.
3. Suatu organisasi politik yang mencakup dua atau lebih partai politik, partai-partai menyelenggarakan hubungan kontinu antara masyarakat umum dengan para pemimpinnya.
4. Pers dan media massa yang bebas untuk menyatakan pendapat
5. Sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak – hak asasi dan mempertahankan keadilan.
Secara ringkas, demokrasi-demokrasi konstitusional menghadapi sejumlah masalah. Salah satunya adalah bagaimana menghasilkan perubahan dengan tetap mempertahankan stabilitas. Isu-isu lainnya menyangkut bagaimana menemukan metode-metode untuk memberikan hak berkuasa kepada para pemimpin dengan tetap mencegah mereka menindas yang lain-lain. Masih ada problem lainnya, yakni mewujudkan pemerintaha terbatas (check and balance) tanpa menimbilkan pemerintahan “lumpuh” yang tidak dapat memobilisasikan sumber daya untuk memprakarsai kebjakan-kebijakan yang dibuutuhkan. Akhirnya, sebuah demokrasi konstitusional harus mencoba mempertemukan konstitusionealisme dengan demokrasi. Konstitusi mengatur pendayagunaan dan distribusi kekuasaan,; demokrasi menyangkut antara lain : peran serta aktif dari warga negara di dalam kehidupan politik.meskipun demikian, suatu konstitusi tidak hanya mmembatasi kekuasaan para penguasa tetapi juga hak-hak warga negara untuk berperan serta. Misalnya, selama abad kesembilan belas, kekangan-kekangan hukum membatasi kekuasaan pemimpin Inggris; tidak ada suatu kelompok atau orang yang memainkan kekuasan absolut. Meskipun demikian, tidak semua warga negara laki-laki dapat berperan serta dalam politik. Sampai permulaan abad kesua puluh di Inggris belum ada hak untuk memberikan suara secara universal bagi kaum pria, sementara hak suara bagi wanita baru terwujud hanya setelah perang dunia pertama. Walaupun orang Perancis telah mempunyai hak pemberian suara bagi semua laki-laki semenjak pemilihan 1849, wanita Perancis tidak memperoleh hak suara sampai akhir Perang Dunia Kedua. [Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial, hal 275-279].
b. Demokrasi Rakyat (Demokrasi Proletar)
Demokrasi rakyat lebih ditekankan pada unsur kesamaannya. Tokoh aliran ini antara lain Robert Owens, Saint Simon, Snetlage, dan Karl Marx. Menurut Karl Marx masyarakat yang dicita-citakan adalah masyarakat komunis, yaitu masyarakat dimana tidak terdapat kelas-kelas sosial. Menurut dibebaskan dari keterikatannya terhadap milik pribadi dan tidak ada penindasan atau paksaan. Akan tetapi, untuk mencapai masyarakat yang dicita-citakan harus melalui jalan paksaan dan kekerasan.
Ciri-ciri demokrasi rakyat (Proletar) menurut M. Carter ialah :
1. adanya dorongan untuk memaksakan persatuan
2. adanya usaha penghapusan oposisi secara terbuka
3. suatu pemimpin yang merasa dirinya paling tahu mengenai cara-cara menjalankan kebijaksanaanpemeerintah, dan yang menjalankan kekuasaan melalui suatu elit yang kekal;
4. negara merupakan suatu alat untuk mencapai komunisme, maka semua alat perlengkapan negara, dan semua perangkat hukum diarahkan untuk mencapai komunisme tersebut.
Sebagaimana di Rusia misalnya, lembaga-lembaga yang disediakan untuk melaksanakan demokrasi rakyat tersebut adalah :
1. Sistem satu partai yaitu partai Komunis.
2. Soviet tertinggi sebagai perwakilan rakyat, secara formal memegang semua kekuasaan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif)
3. Adanya Pemilihan Umum , tetapi dengan sistem calon tunggal untuk setiap kursi calon umum yang telah ditetapkan oleh partai komunis.
IV. DEMOKRASI ALA INDONESIA
Menurut UUD 1945 demokrasi yang berlaku adalah demokrasi dengan sistem presidensial. Akan tetapi tidak persis sama dengan sistem presidensial yang terdapat di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat Presiden tidak bertanggung jawab kepada Badan Perwakilan Rakyat, dalam hal ini congress. Di Indonesia presiden harus bertanggung jawab kepada Badan Perwakilan Rakyat, dalam hal ini MPR. Bahkan MPR dapat memberhentikan presiden dari jabatannya, sebelum masa jabatan berakhir jika pertanggung jawabannya tidak diterima oleh MPR. Di Amerika Serikat hanya congress yang membentuk UU. Di Indonesia undang-undang dibentuk oleh presiden bersama – sama DPR.
Berdasarkan tekanan terhadap unsur kebebasan dan persamaan maka demokrasi di Indonesia memiliki bentuk tersendiri yang di sebut “Demokrasi Pancasila”. Demokrasi ini meliputi bidang – bidang sosial, politik dan ekonomi. Dalam penyelesaian masalah –masalah Nasional, berusaha sejauh mungkin menempuh jalan musyawarah untuk mufakat. Demikian asas demokrasi yang dimaksud sebagai asas pembangunan nasional yang tertera dalam Bab II, Sub C, GBHN 1988 (Tap. MPR No. II/MPR/1988).
Mekanisme yang digunakan untuk menyelenggarakan Demokrasi Pancasila tersebut adalah melalui :
1. Lembaga Negara : MPR, Presiden, DPR,BPK,DPA dan Mahkamah Agung.
2. Pemilihan Umum yang bersifat luber : langsung, umum, bebas, dan rahasia diselenggarakan secara berkala.
3. Pers yang bebas dan bertanggung jawab.
4. Partai politik dan organisasi-organisasi massa dengan satu-satunya asas yaitu Pancasila. [Ilmu Negara, Hal 167-181].
Telaah kritis ata demokrasi
Menyoal Asal Usul Demokrasi
Islam hadir ke dunia sebagai sebuah sistem kehidupan yang sempurna dan paripurna. Keberadaannya menghapus seluruh syariat nabi sebelum Muhammad. Artinya, ajaran Yahudi dan Nasrani, ajaran Zabur, Taurat dan Injil tidak boleh diamalkan lagi. Yang harus diimani dan diamalkan adalah Islam, Al Qur’an dan As Sunah. [Ma Laa Yasa’ul Muslim Jahlahu hal.53]. Karena itu Rasulullah bersabda:
“ Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidak ada seorang pun dari umat ini yang mendengarku (sampai kepadanya dakwah Islam) baik ia itu Yahudi maupun Nasrani kemudian ia mati dan tidak beriman dengan apa yang aku diutus dengannya kecuali ia pasti menjadi penduduk neraka.” [HR. Muslim Kitab Iman Bab Wujubu al Iman bi Risalati Nabiyina Muhammad Ila Jami’in Naas wa Naskhul Milal Bimilatihi no. 153, Shahih Jami’ Shaghir no. 2392/7063, Silsilah Ahadits Shahihah no. 157].
Dari Umar bahwasanya beliau juga bersabda : “ Seandainya Musa hidup dan kalian mengikutinya serta meninggalkanku, kalian pasti tersesat.” [HR. Ahmad 3/471 dan 4/266, hasan].
Bahkan Rasulullah menegaskan bahwa di akhir zaman nanti Nabi Isa akan turun ke bumi untuk memerintah manusia dengan syariat Islam bersama Imam Mahdi dan menghancurkan Salib. [HR. Muslim Kitabul Iman Bab Nuzuli Isa bin Maryam Haakiman Bisyari’ati Muhamad no. 155].
Ini semua menjadi bukti yang kuat bahwa Islam satu-satunya way of life bagi kaum muslimin hingga akhir zaman nanti. Mereka tak memerlukan lagi syariat dan sistem atau way of alife dari luar Islam, termasuk demokrasi. Pertanyaannya, jika Islam menghapus seluruh syariat nabi sebelum Muhammad sehingga di akhir zamanpun Nabi Isa memerintah dengan Al Qur’an dan As Sunah, bukankah Islam lebih menghapus lagi demokrasi yang merupakan perasan otak orang atheis dan musyrik tak mengenal Allah, tak mengenal wahyu, tak mengenal Rasul dan kitab suci ini. Lantas kenapa umat Islam mengikuti Demokrasi, padahal mengikuti Yahudi dan Nasrani yang mempunyai nabi : Musa dan Isa, mempunyai kitab suci dari Allah : Taurat dan Zabur saja tidak boleh, haram dan kafir. Bahkan umat nabi Isa saja bila masih hidup pada zaman nabi Muhammad r harus beriman kepada beliau dan Al Qur’an. Bila tidak berarti kafir dan masuk neraka. Kenapa umat Islam justru mundur ke belakang, ke zaman jahiliyah, zaman ribuan tahun sebelum hadirnya Rasulullah r dan Al Qur’an. Bukankah ini kembali kepada kejahiliyahan dan atheisme, kekufuran. Tidakkah kita sadar Nabi Isa dan Musa kalau masih hidup pada zaman Rasulullah r juga akan masuk Islam, mengamalkan Al Qur’an dan As Sunah, meninggalkan agama Yahudi dan Nasrani, meninggalkan Taurat dan Injil ?
Imam Bukhari dalam kitab shahihnya menulis dalam kitab Al I’tisham sebuah bab yang beliau beri judul Qaulu an Nabi Laa Tasaluu Ahlal Kitab ‘an Syai’ (bab sabda nabi,”Jangan bertanya sesuatupun kepada ahlu kitab”.[Fathul Bari 13/411].
Ibnu Abbas berkata,” Janganlah kalian bertanya kepada ahlul kitab tentang suatu hal,, karena kitab kalian (Al Qur’an) yang diturunkan kepada Rasulullah itu paling baru (paling akhir turunnya), kalian membacanya orisinil tak teracampuri penyelewengan sedikitpun. Kitab itu telah menyebutkan kepada kalian bahwa ahlu kitab telah merubah dan mengganti kitab Allah (Taurat dan Injil) dan mereka menulis dengan tangan mereka sebuah kitab dan mengatakan,” Kitab (buku) ini dari Allah, agar mereka membeli ayat-ayat Allah dengan harga yang murah. Apakah ilmu kalian tidak melarang kalian dari bertanya kepada mereka ? Demi Allah, tidak (jangan bertanya kepada mereka). Kita tak pernah melihat seorang pun dari mereka bertanya kepada kalian tentang apa yang diturunkan kepada kalian (Al Qur’an).” [HR. Bukhari no. 7363].
Ibnu Mas’ud berkata,” Janganlah kalian bertanya kepada ahlul kitab tentang suatu hal, karena mereka sekali-kali tidak akan memberi kalian petunjuk karena mereka sendiri tersesat. (Jika kalian bertanya kepada mereka) kalian akan mendustakan kebenaran dan membenarkan kebatilan.” [HR. Abdu Razzaq 6/112 no. 10162. Al Hafidz Ibnu Hajar berkata,” Sanadnya hasan.” Fathul Bari 13/412].
Umat Islam dilarang bertanya kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani dalam masalah dien. Kenapa ? Karena dien Islam telah sempurna, seluruh persoalan kehidupan manusia telah diatur, baik secara rinci seperti pokok-pokok aqidah, akhlaq dan ibadah maupun menunjukkan rambu-rambu baku yang penjelasan dan prakteknya diserahkan kepada para ulama mujtahid disesuaikan dengan kondisi ruang dan waktu. Politik, ekonomi, milter, sosial budaya, pendidikan, hubungan antara negara dan lain-lain, semuanya telah dibahas oleh Islam, karenanya umat Islam tak perlu dan tak boleh bertanya apalagi mengikuti sistem politik, ekonomi, militer, kepada Yahudi dan Nasrani. Politik, ekonomi, militer dst, semuanya itu termasuk dien, ajaran Islam. Bertanya dan mengikut sistem mereka berarti tidak puas dengan Al Qur’an.
Bila hal ini telah kita pahami, kita akan bisa meyakini sepenuh keyakinan bahwa belajar dan mengikuti produk akal atheis dan musyrikin Yunani Kuno jelas merupakan hal yang diharamkan Islam. Dari sini jelas, sejak dari sumbernya demokrasi dilarang dan haram menurut Islam.
Seperti kita ketahui bersama, demokrasi mencuat lagi ke permukaan setelah adanya revolusi Perancis sebagai reaksi atas kezaliman dan penindasan kaum bangsawan kerajaan dan kalangan gereja. Demokrasi lahir kembali sebagai sikap memberontak atas sistem pemerintahan teokrasi yang mengatas namakan Tuhan/agama Kristen. Demokrasi lahir sebagai sikap menentang agama Nasrani yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan dan kebebasan. Posisi agama Nasrani saat itu bak tuan aatas budaknya, berbuat seenaknya. Dalam kondisi seperti itu, orang-orang kafir Barat tak mempunyai pilihan selain menolak agama dan menempatkan Narsani dan selanjutnya seluruh agama sebagai musuh abadi. Karena itulah demokrasi sejak kelahirannya kembali ini merupakan ideologi sekuler yang lari dari agama. Mereka mengangkat semboyan ” berikan hak Tuhan kepada Tuhan dan hak raja kepada raja.”
Faktor historis ini banyak dilupakan umat Islam yang tertipu dengan demokrasi. Mereka lupa bahwa Islam tidak menerapkan sistem Teokrasi Barat yang memperbudak manusia dengan mengatas namakan agama, tidak pula demokrasi Barat yang bersendikan sekulerisme dan memusuhi agama. Islam mempunyai sistem politik dan pemerintahan sendiri yang bersumber kepada Al Qur’an, As Sunah an Nabawiyah dan Sunah Khulafaur Rasyidin, yang terbukti telah sukses mengatur sebagian besar bagian dunia ini selama tak kurang dari seribu tiga ratus tahun, sejak zaman Rasulullah r sampai era Turki Utsmani.
Ketika Islam menyatakan menolak Teokrasi dan diktatorisme, bukan berarti Islam menerima Demokrasi. Sama sekali tidak demikian, bukan demokrasi, bukan pula Teokrasi, namun Islam berdasar Al Qur’an dan As Sunah. Teokrasi Barat adalah sistem pemerintahan kufur di mana para raja dan pendeta menjadi tuhan-tuhan baru dengan bekal sakti kitab suci yang telah mereka selewengkan. Demokrasi tak kalah jeleknya, karena berintikan sekulerisme. Demokrasi memenjarakan agama di pojok-pojok masjid, agama hanya diberi pengertian hubungan individual dengan Allah semata. Sementara itu seluruh aspek kehidupan manusia mulai dari pendidikan, ekonomi, politik, militer, hukum dan aspek-aspek lainnya tidak boleh dicampuri oleh agama. Semuanya menjadi hak rakyat, lewat wakilnya baik yang bernama Majelis dan Dewan Perwakilan Rakyat serta raja dan kaisar maupun presiden dengan kabinetnya. Ajaib, mereka lebih berkuasa dibandingkan Allah untuk mengatur hitam putihnya kehidupan mereka.
Jelas sudah kekufuran dan kesyirikan demokrasi. Demokrasi tak lain hanyalah wajah politik sekulerisme sebagaimana kapitalisme dan sosialisme hanyalah wajah ekonomi sekulerisme. Keluar dari sistem teokrasi dan diktatorisme menuju sistem demokrasi, tak lain hanyalah pindah dari satu sistem dan ideologi kufur dan syirik menuju sistem dan ideologi kufur dan syirik lainnya. Itu artinya lepas dari mulut singa masuk dalam mulut buaya, tak ada bedanya sama sekali. [lihat Haqiqatu al Dimuqrathiyah hal. 40-42, Al Dimuqrathiyah fil Mizan hal. 31-40].
Pakar demokrasi sendiri mengakui tak ada demokrasi tanpa adanya sekulerisme. Tengok misalnya kajian Samuel Huntington yang menyimpulkan demokratisasi mustahil dilakukan tanpa proses sekulerisasi. Demokrasi membutuhkan satu syarat utama yaitu pemisahan agama dan negara. Demokrasi sangat jarang terdapat di negeri-negeri dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, Hindu, Budha maupun Konfusius. Kenapa demikian? Menurut Huntington agama Kristen Barat menekankan martabat individu dan pemisahan gereja dan negara. Huntington pun menyimpulkan,”Tampaknya masuk akal menghipotesakan bahwa meluasnya agama Kristen mendorong perkembangan Demokrasi.” [Huntington dalam Gelombang Demokratisasi Ketiga hal. 89, dinukil dari Gus Dur Kau Mau Kemana hal. 1-2].
Syubhat :
Sebagian umat Islam yang menerima demokrasi beralasan, mereka mengambil sisi positip dari demokrasi seperti pengakuan HAM, peniadaan diskriminasi dan kebebasan beragama, berpendapat dan lain sebagainya. Adapun nilai negatipnya seperti sekulerisme, hak membuat UU di tangan manusia, penuhanan suara mayoritas dan lain-lain mereka tolak.
Jawab :
Penyataan ini menggelikan sekaligus memprihatinkan. Menggelikan karena menandakan rancunya pemahaman tentang demokrasi itu sendiri, memprihatinkan karena menandakan lemahnya filter iman terhadap serangan Barat sekaligus kekalahan mental di hadapan peradaban Barat.
Demokrasi adalah sistem kufur dan syirik, masihkah kita berharap di dalamnya ada kebaikan ? Pernyataan ini bisa kita analogikan begini. Kristen itu agama samawi namun oleh Allah telah dinyatakan kafir [lihat misalnya QS. Al Maidah:17,72-73], penganutnya kekal di neraka Jahanam dan termasuk seburuk-buruk makhluk di alam raya ini [QS. Al Bayyinah:6]. Kemudian kita dapati kenyataan persaudaraan antara sesama anggota gereja kuat, orang Kristen suka menolong sesama mereka, bahkan menyantuni kaum fakir dan miskin umat Islam, mendirikan balai pendidikan, pengobatan dan latihan kerja gratis bagi kaum muslimin, dan kegiatan sosial lainnya. Lantas apakah kita boleh mengikuti Kristen dengan alasan mengambil ajarannya yang positip dan meninggalkan ajarannya yang negatip ? Apa artinya kegiatan sosial mereka dibandingkan kekufuran dan kesyirikan mereka? Bukankah dengan kufur dan syirik sudah cukup untuk membatalkan kegiatan sosial dan ajaran positif mereka ? Memangnya ada ajaran positif dalam kekufuran ?
Penyataan ini — Naudzu Billahi — secara langsung maupun tidak langsung, sadar maupun tidak sadar berarti telah menuduh Islam dan Rasulullah dengan tuduhan keji. Menuduh Islam tidak sempurna dan masih memerlukan sistem lain selain Al Qur’an dan As Sunah. Menuduh Rasululah tidak menyampaikan seluruh wahyu. Dan ini tentu juga berarti menuduh Allah salah memilih orang menjadi Rasul-Nya, juga menuduh Allah tidak menyempurnakan Islam atau lebih dari itu, –Naudzu Billah—menuduh agama dan syariat Allah tidak sempurna sehingga harus ada filosof Yunani dan kafir Barat yang menyempurnakannya dengan sistem demokrasi. Itu artinya mendustakan ayat-ayat dan hadits-hadits nabawi.
Allah berfirman : “Artinya : Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian dan teah Kucukupkan kepada kalian nikmat kalian dan telah Kuridhai Islam sebagai agama kalian..” [QS. Al Maidah :3].
Artinya : “ Hai Rasul. sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu. Jika kamu tidak mengerjakannya, berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya…” [QS. Al Maidah : 67].
Dalam Hadits Jabir yang panjang disebutkan,” Dan telah aku tinggalkan atas kalian hal yang kalian tidak akan pernah tersesat bila kalian berpegang teguh dengannya, yaitu kitabullah. Kalian bertanya kepadaku, maka apa yang akan kalian katakan?” Para shahabat menjawab,” Kami bersaksi bahwa anda telah menyampaikan, menunaikan dan memberi nasehat. Maka beliau mengangkat jari telunjuk beliau ke alangit dan berkata,” Ya Allah saksikanlah, Ya Allah saksikanlah 3 kali.” [HR. Muslim Kitabul Haj Bab Hujatu an Nabi no. 1218].
Dalam hadits Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda,”Telah kutinggalkan di antara kalian dua hal. Kalian tidak akan pernah tersesat sesudah keduanya, yaitu kitabullah dan sunahku. Keduanya tak akan pernah berpisah sampai datang kepadaku di haudh nanti.” [Shahih Jami’ Shaghir no.2937, Misykatu al Mashabih no. 186, Silsilah Ahadits Shahihah no. 1761].
Juga dalam hadits Ibnu Abbas ketika berkhutbah di Mina saat Haji Wada’ beliau bersabda,” Wahai Allah, bukankah telah aku sampaikan ? Wahai Allah bukankah telah aku sampaikan ?” [HR. Bukhari kitabul Hajj Bab Al Khutbah Ayyami Mina].
Dalam hadits Abi Bakrah juga dalam hadits tentang khutbah Wada’ di Mina, beliau bersabda,” Bukankah telah aku sampaikan? Mereka menjawab,”Ya.” Beliau bersabda,” Ya Allah, saksikanlah. Hendaklah orang yang menyaksikan memberitahu orang yang tidak hadir. Berapa banyak orang yang disampaikan kepadanya lebih paham dari orang yang mendengar langsung.” [HR. Bukhari kitabul Hajj Bab Al Khutbah Ayyami Mina].
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Harun bin ‘Antarah dari bapaknya bahwasanya ia berkata,” Saya berada di sisi Ibnu Abbas kemudian seorang laki-laki datang dan berkata kepadanya,” Ada orang-orang yang datang yang memberitahu kami bahwa di sisi kalian (anda) ada selain apa yang ada di tangan Rasulullah r (yang beliau sampaikan) kepada manusia.” Maka Ibnu Abbas menjawab,” Apakah kau tidak mengetahui bahwa Allah telah berfirman (artinya),” Hai Rasul. sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu. Jika kamu tidak mengerjakannya, berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya…” [QS. Al Maidah : 67]. Demi Allah Rasulullah r tidak mewariskan untuk kami hitam di atas putih.” [Tafsiru Ibni Katsir 2/80, Tafsiru ad Duru al Mantsur 3/117, sanadnya jayid menurut Imam Ibnu Katsir].
Karenanya ibunda ‘Aisyah berkata dengan keras,” Siapa memberitahu kamu bahwasanya Muhammad menyembunyikan sesuatu dari apa yang diturunkan kepadanya, berarti ia telah berdusta. Allah telah berfirman,” Hai Rasul. sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu. Jika kamu tidak mengerjakannya, berarti kamu tidak menyampaikan risalah-Nya…” [QS. Al Maidah : 67].”
Karena itu aqidah Islam menyatakan Rasulullah telah menyampaikan seluruh wahyu yang diturunkan kepada beliau, beliau tak menyembunyikannya meski satu hurufpun. Shahabat Abu Dzar berkata,”Rasulullah tidak meninggalkan seekor burungpun yang membolak-balik sayapnya di langit (udara) kecuali beliau menyebutkan kepada kami ilmunya (keterangannya). Beliau berasabda,” Tak tersisa satu masalahpun ang mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah aku terangkan kepada kalian“ [HR. Ahmad 5/163, Al Mu’jam AL Kabir Thabrani no. 1647, Al Bazzar no. 147, lihat Silsilah Ahadits Shahihah no. 1803]. [Aqidah ini dinyatakan dalam buku-buku aqidah Islam, lihat Ma’ariju al Qabul 3/1108, Syarhu Tsalatsati al Ushul hal 141].
Aqidah Islam juga menyatakan yang disampaikan Rasulullah dari Allah Ta’ala adalah seluruh dien Islam secara mukmal muhkam (sempurna dan pasti), tak ada sedikitpun kekurangan sehingga perlu penambahan dan pelengkap, tidak ada yang musykil (tak bisa dipahami) sehingga perlu diakali dan diperalat agar bisa dipahami. [lihat Ma’ariju al Qabul 3/1110]. Allah berfirman : Artinya : “Tidaklah Kami tinggalkan sesuatupun di dalam Al Kitab ini (Al Qur’an).” [QS. Al An’am :38].
Karena itu Allah menegur dengan keras orang yang tidak puas dengan Al Qur’an dan masih membutuhkan selainnya :
“Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) yang dibaca kepada mereka ? Sesungguhnya dalam Al Qur’an itu ada rahmat yang agung dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman.” [QS. Al Ankabut :51].
Tentunya seorang muslim akan mengimani dan mengamalkan ayat ini. Ia tak perlu lagi sistem selain Al Qur’an dan As Sunah, karena ia hanya akan mendapatkan pelajaran dan rahmat dalam Al Qur’an dan As Sunah saja. Karena itu, Allah sekali lagi menegur dengan keras : Artinya : “ Maka dengan perkataan manalagi sesudah Al Qur’an mereka akan beriman?” [QS. Al Mursalat :50].
Dengan perkataan para filosof Barat, Montesqui si nabi demokrasi, dst ? Inna Lillahi wa Inna Lillahi Raji’un. Alangkah meruginya kita, alangkah rusaknya akidah kita bila demikian itu keadaannya. Shahabat Ibnu Abbas ketika membaca QS. Al Maidah : 3, berkata,” Itulah Islam. Allah memberitahu nabi-Nya dan kaum mukminin bahwasanya Ia telah menyempurnakan syariat iman maka mereka tidak membutuhkan lagi tambahan untuk selama-lamanya. Allah telah menyempurnakannya maka Ia tidak akan menguranginya untuk selama-lamanya, Allah telah meridhainya maka Ia tidak akan membencinya selama-lamanya.” [Tafsiru Ibnu Jarir 6/79, Ad Duuru al Mantsur 3/17].
Dengan sempurnanya agama ini, sempurna pula aturan Allah yang mengatur kehidupan hamba-Nya dunia dan akhirat. Tak perlu lagi ada sistem dan aturan lain. Islam tak memerlukan tambahan, pengurangan maupun revisi. Menurut bahasa orang sekarang, tak ada amandemen atas Islam.[lihat Ma’ariju al Qabul 3/1110-1114].
Bila kita meninggalkan Al Qur’an dan As Sunah atau merasa keduanya belum cukup dan perlu ditambah dengan sistem lain, maka itu artinya kita telah keluar dari jalan yang terang yang ditinggalkan Rasulullah. Tak ada orang yang meninggalkan petunjuk Rasulullah kecuali pasti akan tersesat. Dari Abu Darda’ bahwasanya Rasulullah bersabda,” Demi Allah. Kalian tetah aku tinggalkan di atas jalan yang putih (terang, lurus). Malamnya bagaikan siangnya.” [Shahih Sunan Ibnu Majah no. 5, Silsilah Ahadits Shahihah no.688].
Nampaknya memang umat Islam telah jatuh mental di hadapan peradaban barat yang menggusung sistem demokrasi. Kita kalah dengan orang-orang Yahudi yang memahami betul nilai QS. Al Maidah ayat 3. Dari Thariq bin Syihab ia berkata,”Orang-orang Yahudi berkata kepada Umar,” Kalian membaca ayat (QS. Al Maidah ayat 3) ini, kalau ayat itu diturunkan kepada kami tentulah sudah kami jadikan (hari turunnya) sebagai hari raya. “ Umar menjawab,” Saya benar-benar tahu kapan diturunkan, di mana diturunkan dan di mana Rasulullah ketika ayat ini diturunkan. Hari Arafah, demi Allah, di Arafah. “ Sufyan (perawi) berkata,” Saya ragu apakah hari Jum’at atau bukan (lalu ia membaca ayat),” Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian.” [HR. Bukhari no. 4606, Fathul Bari 8/343].
Bagi orang Yahudi, sempurnanya suatu agama merupakan peristiwa agung, kalau perlu dijadikan hari raya dan hari libur. Kita dilarang menjadikan hal ini sebagai hari raya, yang harus kita lakukan adalah mencukupkan diri dengan mengimani dan mengamalkannya, bukan menambahnya dengan sistem lain di luar Islam, termasuk demokrasi ini.
Dari sini, mustahil secara syar’i dan akal umat Islam menerima demokrasi, meski dengan alasan mengambil sisi positifnya. Tak mungkin umat Islam yang disifati Allah sebagai umat terbaik di antara manusia [QS. Ali Imran :110], dengan agamanya yang sempurna, termasuk mengatur sistem politik, membutuhkan kebaikan dan sistem lain dari umat yang kufur dan syirik. Bukankah aqidah kita mengajari semua nabi mengajarkan seluruh kebaikan dan memperingatkan umatnya dari seluruh kejahatan [lihat Ma’ariju al Qabul 3/1108, Syarhu Tsalatsati al Ushul hal 141]. Sebagaimana riwayat shahabat Abdullah bin Amru bin Ash bahwasanya Rasulullah bersabda,”Tidak ada seorang nabipun sebelumku kecuali menerangkan seluruh kebaikan kepada umatnya dan memperingatkan umatnya dari seluruh kejahatan/keburukan.” [HR. Muslim Kitabul Imarah Bab Wujubul Wafa’ bi Bai’ati al Khalifah al Awal fal Awal no. 4776/1844].
Islam menerangkan segala urusan, mulai dari urusan WC sampai urusan negara. Seorang musyrik bertanya kepada shahabat Salman Al Farisi,”Apakah nabi kalian mengajar kalian sampai masalah adab buang air ?” Shahabat Salman Al Farisi menjawab,” Ya. Beliau melarang kami menghadap kiblat saat buang air besar maupun kecil. Beliau melarang kami beristinja’ (bersuci) dengan batu kurang dari tiga butir, beliau melarang kami beristinja’ dengan tangan kanan dan beliau melarang kami beristinja’ dengan kotoran binatang dan tulang.” [HR. Muslim Kitabul Thaharah bab al Istithabah no. 262]. Apakah mungkin Islam mengatur negara namun tak mempunyai konsep dan sistem yang jelas, sehingga umat Islam harus mengimpor demokrasi ? Tentunya tidak.
Yang bisa dikatakan umat Islam boleh mengambil kebaikan dari orang-orang kafir adalah hal-hal yang berupa penemuan baru seperti kemajuan teknologi dan iptek yang berdasar riset dan penelitian ilmiah, atau hal-hal mubah yang memang dibiarkan Allah dan diserahkan kepada umat Islam agar mereka berijtihad sesuai dengan kondisi tempat dan waktu di mana mereka tinggal. Adapun hal-hal yang ada nash, penjelasan, larangan atau perintah dari Allah dan Rasulullah , maka itulah kebaikan yang harus diamalkan. Di luar itu tidak ada lagi kebaikan, yang ada hanyalah kesesatan dan kemudharatan seperti halnaya dengan demokarasi ini. Wallahu A’lam bish Shawab. [lihat Haqiqatu al Dimuqrathiyah hal. 44-45].
DISKUSI SEBAGIAN ASAS & DASAR DEMOKRASI
Demokrasi mempunyai ciri-ciri khusus yang bila ia hilang, tidak dinamakan demokrasi lagi. Ciri paling pokok adalah :
1. Kekuasaan oleh rakyat.
2. Pengakuan dan jaminan negara terhadap hak-hak dan kebebasan tiap individu.
Demokrasi juga dibangun di atas beberapa dasar dan asas. Insya Allah masing-masing dasar akan kita diskusikan.
ASAS PERTAMA : KEDAULATAN DI TANGAN RAKYAT
Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang mempunyai kewenangan membuat UU, di mana tidak ada kekuasaan yang setara atau lebih tinggi darinya. Ia mempunyai perintah dan larangan tertinggi yang wajib ditaati oleh seluruh komponen lain dalam negara. [Al Hakim wa Ushulul Hukmi hal. 69, dinukil dari Haqiqatu al Dimuqrathiyah hal. 14].
Demokrasi menyatakan pemegang kedaulatan dan kekuasaan tertinggi adalah rakyat. Kedaulatan bersumber dari rakyat dan di tangan rakyat. Rakyatlah penentu tunggal akan ke mana dan apa yang mereka kehendaki. Rakyat yang menentukan apakah ia akan mukmin atau kafir, akan ke barat atau ke timur dst. Inti demokrasi adalah kekuasaan rakyat Tidak ada demokrasi bila kekuasaan bukan di tangan rakyat. Kekuasaan mutlaq berada di tangan manusia. Bila merupakan kehendak rakyat, semua yang haram menurut Al Qur’an dan As Sunah bisa menjadi dalam demokrasi, dilegalkan dan dilindungi UU sedang yang menggugat dengan dasar amar ma’ruf nahi munkar dianggap sebagai tindakan melawan UU. Bila rakyat menghendaki, semua yang halal menurut Al Qur’an dan As Sunah bisa menjadi haram, pelakunya dihukum dan dianggap melawan UU. Yang jelas, semua tindakan yang tidak sesuai dengan UU yang ditetapkan lembaga Legislatif, eksekutif dan Yudikatif dianggap sebagai sebuah kejahatan yang harus dihukum, meskipun itu perintah wahyu.
Dengan demikian yang ditaati dan dijadikan tuhan dari sisi tasyri’, tahlil dan tahrim dalam demokrasi adalah rakyat. Bila semua ini telah kita sepakati, maka bagi seorang muslim tidak akan kesulitan memahami hakikat negara demokrasi tanpa harus terlena oleh slogan-slogan emas yang diteriakkan para pendukung demokrasi. Baik kekuasaan di tangan rakyat atau di tangan sebagian kelompok, baik lewat demokrasi langsung maupun perwakilan, semua kondisi dan bentuk ini dalam Islam sudah jelas nama dan hukumnya, tidak ada keraguan dan kesamaran lagi, yaitu HUKUM KUFUR, SYIRIK dan THAGHUT.
Nash-nash syariat hanya mengenal dua bentuk negara dan pemerintahan:
1. Negara / pemerintah Islam.
2. Negara / pemerintah thaghut.
Dalam negara Isam, kekuasaan tertinggi /kedaulatan berada di tangan Allah Ta’ala Yang Maha Tinggi Maha Agung Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan. Hak membuat UU, menghalalkan, mengharamkan, melarang dan memerintah berada di tangan Allah pencipta langit dan bumi, bukan di tangan manusia baik itu sebagian individu, kelompok dan rakyat, atau bangsa. Ini sudah jelas dalam akidah seorang muslim.
Dalam negara thaghut, kekuasaan tertinggi, hak memerintah, melarang dan membuat UU secara mutlak di tangan manusia atau sebagian di tangan Allah dan sebagian lain di tangan manusia, baik itu individu, kelompok, rakyat atau bangsa. Jelas kalau negara demokrasi adalah negara thaghut.
Padahal iman tidak benar bila tidak ada sikap kufur kepada thaghut. Iman kepada Allah Ta’ala (menerima dan ridha dengan hukum-Nya) tidak bisa bertemu dengan iman kepada thaghut (menerima dan ridha dengan hukum thaghut). Allah menyebutkan kewajiban kufur kepada thaghut bersamaan dengan kewajiban iman kepada Allah ta’ala.” Barang siapa mengkufuri thaghut dan beriman kepada Allah berarti telah berpegang dengan tali yang teguh.” [QS. Al Baqarah : 256].
Allah mendustakan pengakuan orang yang mengaku beriman kepada Allah namun masih mau berhukum dengan thaghut dengan firman-Nya,”Apakah kamu tidak melihat orang-orang yang mengaku mereka beriman dengan apa yang diturunkan kepadamu (Al Qur’an) dan apa yang diturunkan sebelummu, padahal mereka mau berhukum dengan thaghut dan mereka sudah diperintahkan untuk mengkufuri thaghut. Sesungguhnya setan ingin menyesatkan mereka sejauh-jauhnya.” (QS. An Nisa’: 60).
Dari sini jelas sudah, seorang mukmin wajib mengkafiri hukum dan sistem demokrasi dan jelas juga dustanya pengakuan iman orang yang masih menerima dan rela dengan sistem demokrasi. Selamanya tidak akan pernah terkumpul dalam diri seseorang nama muslim dan demokratis. Tidak ada yang menerima atau mengesahkan kedua nama ini terkumpul dalam diri seseorang kecuali :
1. Orang yang tidak paham tentang Islam yang berlandaskan tauhid kepada Allah semata dan peniadaan sekutu dari-Nya. atau
2. Orang yang tidak paham tentang kesyirikan dan kekufuran demokrasi.[lihat Haqiqatu al Dimuqrathiyah hal. 14-20].
Bila kita meninjau kembali definisi demokrasi, minimal ada dua hal yang perlu digaris bawahi:
a. Demokrasi berarti menjauhkan dan membuang hak dan kedaulatan Allah, di mana manusia baru mempunyai kedaulatan itu setelah mendapat izin-Nya. Jelas ini bertentangan dengan Islam seperti telah kita jelaskan di atas.
b. Sistem demokrasi sejak awal tidak mengakui hukum-hukum syariat dan tidak mengakui wajibnya menerapkan hukum syariat. Hukum syariat adalah hukum-hukum yang ditetapkan Allah, Rasulullah dan hasil ijtihad para mujtahid yang berijtihad dalam hal-hal yang diizinkan oleh Allah. Hukum yang berlaku hanyalah UU yang ditetapkan lembaga Legislatif, eksekutif dan Yudikatif yang merupakan representasi dari keinginan dan kehendak rakyat sebagai penegang kedaulatan.
Dari sini jelas sistem demokrasi bertentangan dengan Islam karena Islam mewajibkan pelaksanaan hukum-hukum syariah yang telah ada nashnya secara qath’i atau nash yang dhani yang disepakati oleh mayoritas ulama mujtahidin. Baru setelah itu sekelompok umat Islam (ulama) yang mempunyai kemampuan diberi kewenangan untuk membuat peraturan dan UU yang bersifat managerial/administratif yang dipandang baik dan bermanfaat bagi rakyat dengan syarat tidak bertentangan dengan hukum syar’i. Dengan definisinya, demokrasi berarti telah meminggirkan dien secara total dari seluruh persoalan pemerintahan dan UU. Ini sekali lagi menegaskan bahwa demokrasi adalah sistem politik dari agama sekulerisme. [Kawasifu Zayuf karya Syaikh Abdurahman Habnakah al Maidany hal. 694-695, dinukil dari Haqiqatu al Dimuqrathiyah hal. 21].
Teori kedaulatan yang merupakan inti demokrasi tak mungkin lahir kecuali dari asas ilhad kufri (atheisme). Hal ini bisa dijelaskan sebagai berikut :
Teori ini muncul pertama kali di Barat yang beragama Kristen (Nashara), di mana para penguasa berlaku dzalim dan memerintah dengan tangan besi dengan mengatas namakan kekuasaan Tuhan. Gereja bukannya melawan kedzaliman ini atau minimal menguranginya, namun justru ikut memasung kemerdekaan mereka. Gereja tak lain adalah patner para penguasa. Orang-orang yang melawan kedzaliman ini akhirnya mengumandangkan slogan kekuasaan di tangan rakyat sebagai ganti kekuasaan di tangan para penguasa /raja. Kedua-duanya berangkat dari teori yang tak berlandaskan wahyu. Para penguasa memegang teori wakil Tuhan, sedang para oposan memegang teori kontrak sosial.
Menurut teori kontrak sosial, pada asalnya manusia adalah makhluk yang hidup berai tanpa aturan dan negara. Padahal tanpa adanya aturan yang disepakati, kehidupan mereka akan kacau balau. Karena itu mereka berkumpul dan bersepakat mengangkat pemimpin yang mereka sukai, membuat peraturan bersama yang mereka sukai dan mereka sepakati. Dengan demikian, seluruh peraturan dan pemimpin yang mengendalikan kehidupan mereka adalah wujud dari keinginan bersama/rakyat. Rakyat adalah raja di atas segala-galanya, kehendaknya menjadi UU yang wajib ditaati.
Teori ini jelas-jelas kufur dan atheis, berangkat dari keyakinan seakan-akan mereka ada dengan sendirinya tanpa ada Sang Pencipta (Allah Ta’ala) yang menciptakan sehingga mereka bebas mengatur diri mereka endiri tanpa ada ikatan sedikitpun dengan aturan Allah Ta’ala. Atau mereka mengetahui adanya Allah Ta’ala namun mereka meyakini-Nya sebagai pencipta semata. Adapun Allah Ta’ala mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab suci untuk mengatur kehidupan mereka, mereka sama sekali tidak meyakini, tidak peduli. Ya, kalau mereka yakin dan peduli tentunya mereka tak memerlukan kotrak sosial lagi.
Ini tentu bertentangan seratus persen dengan ayat-ayat Al Qur’an dan As Sunah yang menegaskan Allah menciptakan Adam dan Hawa, menurunkan mereka berdua ke dunia, menurunkan syariah yang mengatur kehidupan dunia mereka, mengutus para nabi dan rasul untuk membimbing kehidupan manusia. Tentunya tak perlu heran lagi bila dari sumber yang penuh dengan kekufuran dan atheis serta sekulerisme ini keluar berbagai produk kufur dan syirik, seperti memberikan hak tasyri’ kepada manusia apapun bentuknya (rakyat, MPR/DPR dll).
Karena itu kita sangat memprihatinkan bila saat ini masih saja ada sebagian ulama Islam yang menyatakan demokrasi sesuai dengan Islam, karena tak mungkin rakyat memilih pemimpin yang tak mereka sukai, mereka lalu menganalogikannya dengan sholat Jama’ah. Imam yang tidak disenangi makmum dilarang menjadi imam.
Persoalan demokrasi bukan sekedar persoalan siapa yang memimpin, namun lebih dari itu adalah penyerobotan hak tasyri’ yang merupakan hak uluhiyah Allah semata. Ayat-ayat Al Qur’an dengan tegas menolak konsep kedaulatan di tanagn rakyat, hak memabuat UU /tasyri’ di tangan rakyat ini :
“ Hukum itu hanya hak Allah semata. Dia telah memerintahkan kalian untuk beribadah kecuali kepada-Nya.” [QS. Yusuf : 40].
Mentaati UU buatan Allah adalah ibadah kepada Allah, merealisasikan rububiyah dan uluhiyah Allah. Mentaati UU buatan wakil rakyat berarti ibadah kepada wakil rakyat, berarti menyematkan rububiyah dan uluhiyah kepada wakil rakyat.
“ Dan apa yang kalian perselisihkan maka kembalianya kepada Allah.” [QS. Ay Syura ; 10]. Bukan kepada keputusan lembaga legislatif, lembaga eksekutif, lembaga yudikatif maupun produk hukum mereka, bukan pula kepada kehendak bangsa dan negara.
“ Apakah mereka masih mencari hukum jahiliyah ? Siapakah yang lebih baik hukumnya mlebihi Allah bagi kaum yang yakin.” QS. Al Maidah : 50].
“ Maka patutkah aku mencari hakim selain Allah padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Qur’an kepadaku dengan terperinci.” [QS. Al An’am :114].
“ Apakah mereka mempunyai sembahan-semabahan lain selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka dien yang tidak diizinkan Allah?” [QS. Asy Syura : 21]. Allah menyebut pihak selain Allah siapapun dia [baik lembaga legislatif / MPR / DPR / Parlemen / lembagaYudikatif / lembaga eksekutif] yang menelurkan peraturan-peraturan yang bersumber dari akal semata dan menyelisihi Al Qur’an dan As Sunah sebagai sembahan selain Allah dan tandingan bagi Allah. Jelaslah, wakil-wakial rakyat dalam demokrasi adalah tuhan-tuhan baru (arbab min dunillah).
“ Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhat-hatilah kamu jangan sampai mereka memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” [QS. Al Maidah :49]. Bukan dengan keputusan dan UU buatan ketiga lembaga dalam sistem demokrasi tadi.
“ Mereka menjadikan orang-orang alim mereka (Yahudi) dan ahli-ahliibadah mereka (Nashara) sebagai tuhan-tuhan selain Allah.” [QS. At Taubah : 31]. Sebagaimana disebutkan dalam hadits shahabat Adi bin Hatim, ibadah dan menyembah pendeta bukan dengan sujud, ruku’, sholat, do’a, zakat, berkurban dst. Tapi dengan mentaati peraturan dan UU mereka yang menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Begitu juga menyembah dan beribadah kepada lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif adalah dengan mentaati UU buatan mereka yang semuanya murni dari akal dan hawa nafsu, bertentangan dengan nash-nash Al Qur’an dan As Sunah dan menghalalkan yang haram dalam Al Qur’an dan As Sunah dan mengharamkan hal yang halal dalam Al Qur’an dan As Sunah.
“ Wahai ahlu kitab, marilah kepada satu kalimat, antara kami dan kalian sama (yaitu untuk) tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun dan sebagian kita tidak mengambil sebagian lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah.” Kalau mereka berapaling maka katakanlah,” Saksikanlah bahwa kami orang-orang Islam.” [QS. Ali Imran : 64]. Maknanya, hendaklah perkumpulan dan kesepakatan antara kita dengan Yahudi dan Nasrani diabangun di atas satu dasar ayaitu tauhidullah, beribadah dan ta’at kepada Allah semata, berhukum kepada-Nya semata, tidak menjadikan manusia (makhluk) sebagai tuhan yang ditaati . Kepada Allah semata kiata mengembalikan seluruh urusan dan perselisihan, kita mengakui hak Allah dalam masalah hukum, tasyri’, tahlil dan tahrim. Dengan demikian kita menjadikan Allah sebagai Rabb (tuhan) kita.
Panggilan dan ajakan ini terkhusus untuk Yahudi dan Nasrani karena mereka sudah dikenal sebagaikaum penyembah pendeta dan pastur dan menjadikan pendeta dan pastur sebagai tuhan-tuhan selain Allah dari sisi tasyri’, tahlil dan tahrim. Sudah jelas bahwa dalam alam demokrasi, masyarakat menjadikan sebagian mereka sebagai tuhan bagi sebagian yang alain. Mereka lari dari menyembah pendeta dan pastur menuju penyembahan pendeta dan pastur lain yang berwujud MPR/DPR/Parlemen. Mereka mengakui hak tasyri’, tahlil dan tahrim, membuat UU bagi wakil-wakil rakyat yang semestinya menjadi hak Allah semata. Rakyat harus mentaati segala UU yang mereka tetapkan.
Malang sekali mereka ini. Mereka mengira sudah merdeka dan hidup dalam alam kebebasan, pemegang kekuasaan dan berdaulat penuh menentukan hidupnya, padahal sesungguhnya mereka diperbudak oleh tuhan-tuhan baru ini, mereka menjadi hamba bagi tuhan yang banyak dan berserikat..Sungguh benarlah apa yang dinyatakan Asy Syahid Sayyid Qutb,” Sesungguhnya manusia dalam perundang-undangan bumi sebagian mereka menjadikan sebagian lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Baik mereka di puncak demokrasi maupun di jurang diktatorisme, keduanya sama saja…..” [Fi Dzilalil Qur’an 1/407, dinukil dari Hukml Islam fiAl Dimuqrathiyah hal. 29].
Dr. Muhammad Husain dalam bukunya “ Azmatul Ashri ” menyatakan,”Hakimiyah dalam Islam milik Allah semata, Kitabullah dan Sunah rasul-Nya menjadi sumber hukum. Sebaliknya, umat atau rakyat lewat wakilnya menjadi sumber hukum dalam alam demokrasi. Dalam Islam, umat diatur dengan tasyri’ Allah Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui, sedang dalam demokrassi diatur dengan UU yang terbit dari syahwat dan kepentingan manusia. Dala Islam, hukumhukum selalu tetap sedang dalam demokrasi selalu berubah-ubah dan tidak tetap.” [Hukml Islam fi Al Dimuqrathiyah hal. 30].
Dalam alam demokrasi, manusia hanya menjadi kelinci percobaan semata. Sebuah UU dikeluarkan, dijalankan dan ketika tidak sesuai akhirnya diganti. Dibuat lagi peraturan dan UU baru, diuji cobakan lagi. Selang beberapa waktu, terjadi perubahan kondisi sehingga peraturan harus diamandemen. Dibuat UU baru lagi, diujicobakan lagi, gagal lagi. Kemudian datang pemilu, wakil rakyat berganti maka UU ikut berganti pula. Diujicobakan, begitu seterusnya. Bongkar pasang UU sudah menjadi hal yang biasa, akibatnya rakyat “ sebagai pemegang kedaulatan tertinggi “pula yang menjadi korbannya. Wallahu A’lam Bish Shawab.
Refferensi :
1. Abu Bashir Abdul Mun’im Musthafa Halimah, Hukmu al Islam fi al Dimuqrathiyah wa al Ta’adudiyah al Hizbiyah, Al Markazu al Dauli li al Dirasat al Islamiyah, London, cet. 2, 1420 H.
2. Muhammad Syakir Syarif, Haqiqatu al Dimuqrathiyah, Darul Wathan, Riyadh, cet. 1, 1412 H.
3. Sa’id Abdul Adzim, Al Dimuqrathiyah fi al Mizan, Darul Furqan, Kairo.
4. Abdul Ghani ibn Muhammad Ibn Ibrohim Ibn Abdul Akrim Ar Rahhal, Al Islamiyyun wa Syarabu al Dimuqrathiyah, Muasasah al Mu’taman, cet.1, 1413 H.
5. Ibnu Hajar, Fathul Bari Syarhu Shahih Bukhari, Darul Kutub al Ilmiyah,Beirut, cet.1, 1410 H.
6. Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabau Dahlan, Bandung.
7. Imam Ahmad, Musnad Ahmad, Daru Salam, Riyadh.
8. Hafidz bin Ahmad Hakamy, Ma’ariju al Qabul.
9. Muhammad Sholih Utsaimin, Syarhu Tsalatau al Ushul, Daru a l Tsuraya, Riyadh, cet. 3, 1417 H.
10. Muhammad Nashirudin Al Albani, Silsilatu al Ahadits Al Shahihah, Maktabatu al Ma’arif, Riyadh, 1415 H.
11. Muhammad Nashirudin Al Albani, Shahih al Jami’ al Shaghir, Al Maktabu al Islamy, cet. 3, 1410 H.
12. Adian Husaini Gus Dur Kau Mau Ke Mana,, DEA Press, Jakarta.
13. Abdul Majid Ibn Mahmud Ar Reimy, 50 indikasi destruktif Demokrasi, Pemilu dan Partai, Pustaka Al Hars, Lampung, Cet. 2, Maret 1999 M.
14. Majalah Suara Hidayatullah, 03/XII/Juli 1999 M.
15. Ilmu Negara, Buku Panduan Mahasiswa, Max Boli Sabon, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Cet. I, 1992 M.
16. Kehidupan Politik dan Perubahan Sosial, terjm. Penerjemah : Lukman Hakim, Tiara Wacana Yogya, cet. I, Mei 1992 M.
17. Pius A Partanto-M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, penerbit Arkola- Surabaya.
0 comments to “Agama Demokrasi”
Posting Komentar