Hakekat kerahasiaan kedokteran terkait dengan rahasia jabatan profesi seorang dokter. Rahasia jabatan bukanlah berdasarkan azas kepercayaan melainkan merupakan suatu kewajiban bagi pejabat negara. Profesi kedokteran (bidang kesehatan) baru dapat berlangsung bila ada kerelaan pasien untuk mengungkapkan keadaan dirinya termasuk hal-hal yang amat pribadi.Profesi kedokteran menghargai kerahasiaan pribadi pasien sehingga perlu mencantumkannya dalam etika kedokteran. Akibatnya dapat dikatakan bahwa konstruksi hubungan dokter-pasien adalah berdasarkan azas kepercayaan, artinya dokter percaya bahwa pasien akan mengungkapkan diri seutuhnya sedangkan pasien juga percaya bahwa dokter akan menjaga rahasia yang diketahuinya. Inilah yang dinamakan kerahasiaan kedokteran.

Bentuk pengungkapan diri pasien dalam hubungannya dengan profesi kedokteran meliputi tindakan anamnesa (wawancara), pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Hal ini berarti semua data pribadinya diserahkan pada tangan dokter yang memeriksanya (beserta staf medis terkait). Dalam keadaan memerlukan bantuan medik, seorang pasien berada dalam situasi konflik. Di satu pihak pasien menderita dan sangat memerlukan bantuan orang lain (dokter), tetapi di pihak lain pasien juga menginginkan rahasianya tetap utuh demi ketentraman batin dan integritas pribadinya. Pasien yang datang ke dokter terpaksa harus mengorbankan kepentingannya, yaitu rahasia pribadinya. Karena menyangkut hak asasi pasien dan menjadi suatu kepentingan umum di masyarakat, maka masalah kerahasiaan kedokteran perlu diatur oleh hukum.

Kewajiban dokter untuk menyimpan rahasia kedokteran telah diatur dalam PP nomor 10 tahun 1966. Dalam peraturan ini tidak dibedakan antara rahasia jabatan atau rahasia profesi kedokteran. Tetapi dalam penjelasannya, keduanya diatur sesuai dengan delik pasal 322 KUHP bahwa mereka yang membuka rahasia pekerjaan maupun rahasia jabatan akan diancam hukuman pidana. Pasal 1 PP no. 10 tahun 1966 memberi batasan bahwa yang dimaksud dengan kerahasiaan kedokteran adalah segala sesuatu yang diketahui pada waktu atau selama melakukan pekerjaan di lapangan kedokteran. Hal ini meliputi segala fakta yang didapatkan selama penanganan pasien, mulai dari pemeriksaan dan interpretasinya (diagnosa) sampai dengan penatalaksanaannya. Sehingga hal-hal yang diketahui tapi tidak berhubungan dengan pekerjaan, bukanlah merupakan kerahasiaan kedokteran.

Pada pasal 2 peraturan tersebut membatasi daya berlakunya wajib simpan kerahasiaan kedokteran, karena bila ada peraturan lain yang sederajat atau lebih tinggi dari PP no. 10 tahun 1966 maka wajib simpan kerahasiaan tersebut akan tidak berlaku. Hal ini menunjukkan keluwesan atas prioritas kepentingan yang akan dilindungi, bila ada kepentingan lain yang dianggap lebih tinggi (kepentingan umum), maka kerahasiaan kedokteran harus mengalah.

Pasal 3 peraturan ini menentukan subyek hukum yang harus menyimpan kerahasiaan kedokteran. Selain mereka yang profesional di bidang kedokteran, maka mereka yang sedang dalam pendidikan di bidang ini pun wajib menyimpan kerahasiaan kedokteran walaupun belum disumpah. Termasuk golongan ini adalah para mahasiswa kedokteran, siswa perawat, dan sebagainya.

Sangsi hukum yang telah diterapkan sehubungan dengan pembukaan kerahasiaan kedokteran dapat ditinjau baik dari segi hukum pidana maupun perdata. Dari segi hukum pidana, pembukaan rahasia jabatan diancam oleh pasal 112 dan 322 KUHP. Sedangkan dari segi hukum perdata dapat diterapkan pasal 1365 KUHPerdata.

Kerahasiaan kedokteran harus tetap disimpan walaupun pasien tersebut telah meninggal. Kerahasiaan kedokteran merupakan hak pribadi pasien yang tidak diwariskan pada ahli warisnya sehingga para ahli waris tidak berhak mengetahui rahasia pribadi pasien. Kerahasiaan ini dijunjung tinggi dalam masyarakat sehingga walaupun pengadilan meminta seorang dokter untuk membuka kerahasiaan kedokteran, dokter tersebut memiliki hak tolak (verschoningsrecht). Hak ini telah diatur dalam pasal 170 KUHAP yang menentukan bahwa mereka yang diwajibkan menyimpan rahasia pekerjaan/jabatan dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan keterangan sebagai saksi. Namun ayat kedua dari pasal ini membatasi hak tolak sesuai dengan pertimbangan hakim. Hal ini tentunya diterapkan bila kepentingan yang dilindungi pengadilan lebih tinggi dari kerahasiaan kedokteran.

Ada beberapa keadaan dimana pemegang kerahasiaan kedokteran dapat membuka rahasia tersebut tanpa terkena sanksi hukum. Keadaan tersebut dapat dibagi menjadi dua golongan besar yaitu bila ada kerelaan/izin dari pasien dan tanpa izin/kerelaan pasien. Dalam hal pertama dapat dianggap bahwa pasien sendiri menyatakan secara tidak langsung kerahasiaan kedokteran itu bukan lagi merupakan rahasia sehingga tidak wajib dirahasiakan oleh dokter. Tetapi walaupun ada permintaan pasien agar dokter membuka kerahasiaan kedokteran, dokter tidak harus memenuhinya demi menjaga keluhuran profesi kedokteran. Sedangkan dalam hal kedua, dokter terpaksa membuka kerahasiaan kedokteran karena sesuatu hal yang walaupun tidak dibenarkan oleh hukum, tetapi dokter tidak dipidana karena adanya dasar-dasar penghapus pidana (straf uitsluiting-sgronden) yang dapat dijumpai dalam pasal 48, 50, dan 51 KUHP.

Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Benhard Knight (1972) bahwa pengungkapan rahasia profesional dapat dilakukan dalam kondisi :
  • Adanya persetujuan pasien
  • Berdasarkan perintah hukum
  • Beradasarkan perintah pengadilan
  • Kepentingan umum menyangkut masalah kesehatan dan keselamatan umum
Di luar kondisi di atas maka pengungkapan kerahasiaan kedokteran dapat dianggap perbuatan yang melawan hak dan karenanya pada beberapa keadaan dapat digugat.

1 comments to “Kerahasiaan Kedokteran”

  1. Thank you very much for all your supports. I like your blog too, that's very informative blog
    ^_^