Kanker merupakan salah satu penyakit yang amat ditakuti karena dianggap mematikan (terminal illness). Walaupun sejumlah penderita mampu mengatasi kanker namun diagnosis kanker relatif menimbulkan rasa ancaman besar bagi penderitanya, seperti yang dinyatakan oleh S. Fishman dan L. Berger dalam buku berjudul The War On Pain, yang diterbitkan tahun 2000. Diagnosis kanker itu sendiri sudah cukup memberikan tekanan besar bagi penderitanya, belum lagi kenyataan tentang hasil diagnosis penyebaran sel kanker dan kemungkinan pertumbuhannya jika tak tertanggulangi. Dalam proses mengupayakan kesembuhan, pasien tak hanya ditantang mengatasi penyakitnya itu sendiri tetapi juga ditantang untuk mengatasi ketidaknyamanan proses pengobatan dan tantangan ekonomi. Ketidaknyamanan proses pengobatan termasuk didalamnya pembatasan aktivitas dan bagi sebagian orang juga pengalaman rasa mual saat menjalani kemoterapi. Kondisi ekonomi merupakan tantangan tersendiri bagi penderita, khususnya yang memiliki keterbatasan finansial.

Dalam tulisan yang disampaikan di International Union of Psylogical Science (IUPsyS) Congress, Beijing, tahun 2005, berjudul Resiliency And Helplessness : A Further Study On Families That Live On Riverbank Areas In Jakarta, Monty P. Satiadarma mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan individu untuk bertahan bahkan tetap tumbuh dan berkembang di tengah kondisi hidup yang penuh dengan tekanan. Sementara J. L. Johnson dan M.D. Glantz dalam tulisan yang berjudul Resilience And Development Positive Life Adaptations (termuat dalam buku H.B. Kaplan, 1999, Toward An Understanding of Resilience : A Critical Review of Definitions And Models, halaman 17 – 84), menjelaskan bahwa resiliensi merupakan kemampuan individu dalam mempertahankan keseimbangan diri dari waktu ke waktu yang dilandasi oleh tercapainya integrasi kepribadian. Ada sejumlah pakar (seperti E.P. Sarafino, 1994, dalam buku berjudul Health Psychology : Biopsychosocial Interactions) yang beranggapan bahwa resiliensi sama halnya dengan ketangguhan. S.C. Kobasa dalam tulisan yang berjudul Stressful Life events, Personality, And Health : An Inquiry into Hardiness, yang dimuat dalam Journal of Personality and Social Psychology, 37, halaman 1 – 11, tahun 1979, berdasarkan penelitian yang dilakukannya secara ekstensif memperoleh kesimpulan bahwa mereka yang memiliki resiliensi tinggi cenderung lebih tangguh menghadapi penyakit daripada mereka yang memiliki resiliensi rendah. Tinggi rendahnya resiliensi dalam hal ini diukur dari frekuensi keluhan dan bobot keluhan yang diukur melalui satuan skala (misalnya pasien diminta memberikan skor tertentu akan sakit yang mereka alami, skor berkisar 0 – 10, 10 = sakit yang dirasakan tak tertanggulangi). Monty P. Satiadarma dalam tulisan yang berjudul Resilience of Indonesian City_riverbank Families : A study On Families Who Live On Ciliwung Riverbank, yang disampaikan pada International Society for The Study of Behavioural Development (ISSBD) Congress, Beijing, tahun 2000, berdasarkan penelitian yang dilakukannya atas 157 penduduk bantaran sungai, memperoleh gambaran bahwa besaran penghasilan dan tingkat pendidikan mempengaruhi resiliensi individu dalam menghadapi tekanan hidup.

Kondisi ekonomi dan pendidikan semata – mata tidak cukup memberikan sumbangan yang berarti bagi aspek resiliensi individu dalam mengatasi penderitaan sakit kanker. Upaya penderita memerangi penyakit kanker membutuhkan dukungan psikologis yang amat besar dari keluarga. Ragam telaah ilmiah sebelumnya, seperti yang dinyatakan oleh N. Garmezy dan M. Rutter dalam tulisan yang berjudul Stress, Coping, and Development In children, yang dimuat dalam buku Stressors of Childhood, terbit tahun 1983, mengemukakan bahwa keluarga berperan besar dalam membentuk pribadi resilien dalam perkembangan anak menuju ke kedewasaan. Dukungan keluarga mempengaruhi terbentuknya integritas kepribadian dan pola pikir positif pada individu dalam proses perkembangannya. Demikian pula dalam menghadapi penyakit kanker, kehadiran keluarga akan sangat membantu pasien dalam mengatasi perasaan tertekan yang harus dia hadapi akibat penyakitnya itu sendiri, akibat keterbatasan ekonomi dan akibat perubahan pola hidup selama menjalani pengobatan.

Di samping itu, peran tenaga kesehatan di rumah sakit memberikan dampak besar bagi pasien. Fishman dan Berger (2000) mengemukakan bahwa langkah penting tenaga kesehatan dalam hal ini selayaknya lebih diarahkan untuk mengatasi penderitaan pasien akibat rasa terisolir daripada mengatasi penyakitnya itu sendiri. Tanpa mengabaikan aspek medis tentunya, para tenaga kesehatan perlu menyadari bahwa sebagian besar pasien relatif merasa terisolir dari lingkungan sosial karena adanya ragam pembatasan dan perubahan gaya hidup, dan rasa terisolir itu memberi pengaruh negatif terhadap ketahanan fisik pasien. Padahal proses pengobatan tidak sekedar diarahkan untuk mematikan sel kanker tetapi juga menghambat perkembangannya dengan jalan meningkatkan ketahanan pasien. Perasaan terbebani yang dialami oleh pasien dapat dikurangi dengan jalan memberikan perhatian lebih besar pada pasien, mendampingi pasien dalam kesendiriannya, dan mendengarkan keluh kesah pasien. Keterbatasan tenaga kesehatan yang tersedia di rumah sakit tentunya merupakan kendala tersendiri yang harus diatasi. Oleh karena itu bantuan dari keluarga akan memberikan sumbangan yang amat berarti bagi pasien dalam menghadapi penyakitnya, baik kemungkinan untuk bertahan relatif lebih besar maupun peluang untuk bertahan relatif kecil.

Ragam keluh kesah pasien, seperti perasaan tidak berdaya, perasaan menyulitkan dan membebani keluarga, perasaan menyesal karena menjalani kehidupan yang tidak sehat, dan kecemasan menghadapi kematian, merupakan ungkapan – ungkapan yang sering diutarakan pasien khususnya dalam keputus-asaan mereka dalam memerangi penyakitnya. Sebaliknya, kebermaknaan hidup merupakan hal yang paling didambakan oleh pasien dalam menghadapi peluang hidupnya yang semakin kecil akibat penderitaan dan deraan sakit. Refleksi atau umpan balik dari pihak keluarga serta tenaga kesehatan bagi pasien tentang hal – hal yang pernah dicapai pasien selama menjalani hidupnya merupakan bentuk dukungan psikologis yang bermanfaat bagi pasien. Pengumpulan ingatan akan hasil – hasil yang pernah dicapai selama hidup menggugah perasaan bermakna dalam diri pasien dan kondisi ini mempengaruhi tergugahnya pola piker positif.

Akan tetapi pada kenyataannya yang sering terjadi adalah keluarga cenderung memberikan ragam saran penyembuhan secara fisik yang kurang memperhatikan gejolak psikologis yang sedang dialami pasien. Anggota keluarga yang sesungguhnya berniat baik membesuk dan menemani acapkali mengemukakan saran – saran terapi alternatif tanpa dilandasi bukti akurat. Sering terdengar anggota keluarga menyarankan pasien mengkonsumsi dedaunan atau buah – buahan tertentu tanpa akurasi ukuran dan rentang masa terapi. Ketika dalam rentang masa tertentu pasien belum merasakan perubahan maka yang muncul adalah rasa frustasi dan hal ini cenderung menambah beban penderitaan bagi pasien. Oleh karena itu, saat memberikan dukungan psikologis pada pasien yang tengah menghadapi penderitaan penyakit kronis dan mematikan seperti kanker, perlu dipertimbangkan agar tidak terburu – buru mengemukakan saran tanpa landasan pengetahuan yang akurat. Tenaga kesehatan perlu lebih memperhatikan aspek psikologis penderita disamping menguapayakan penyembuhan melalui bantuan medis. Dukungan eksternal yang lebih bersifat mendengarkan akan lebih bermanfaat daripada secara awam memberikan beragam saran yang mengandung resiko menimbulkan rasa frustasi.

Pasien sendiri hendaknya menjalani terapi sesuai petunjuk tenaga kesehatan dan tidak terburu – buru memanfaatkan saran awam tanpa informasi yang cukup akurat. Pasien perlu mengumpulkan ulang ingatan tentang prestasi yang pernah dicapai dan menghindari penyesalan hidup berlarut – larut karena penyesalan tersebut tidak akan membantu dalam menghadapi tantangan penderitaan sakit. Pasien perlu mempertimbangkan kemungkinan – kemungkinan yang masih mampu dilaksanakan dalam berbagai keterbatasan yang ia alami dan ia juga perlu menyesuaikan diri denganberagam keterbatasan tersebut. Singkatnya, dibutuhkankeberanian yang besar dalam menghadapi ragam tantangan penderitaan.

Sumber : Jurnal Kanker Rumah Sakit Dharmais, Oktober 2009.

0 comments to “RESILIENSI DAN KANKER”