Pemeriksaan kasus-kasus persetubuhan yang merupakan tindak pidana, hendaknya dilakukan dengan teliti dan waspada. Pemeriksa harus yakin akan semua bukti yang ditemukan karena berbeda dengan pemeriksaan di klinik, ia tidak lagi mempunyai kesempatan untuk melakukan pemeriksaan ulang guna memperoleh lebih banyak bukti. Tetapi dalam melaksanakan kewajiban itu, dokter jangan sampai meletakkan kepentingan korban di bawah kepentingan pemeriksaan. Terutama bila korban masih anak-anak, hendaknya pemeriksaan itu tidak sampai menambah trauma psikis yang sudah dideritanya.

Visum et Repertum yang dihasilkan mungkin menjadi dasar untuk membebaskan terdakwa dari penuntutan atau sebaliknya untuk menjatuhkan hukuman. Di Indonesia, pemeriksaan korban persetubuhan yang diduga sebagai tindak kejahatan seksual umumnya dilakukan oleh dokter ahli Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan, kecuali di tempat yang tidak ada dokter ahli demikian maka dokter umumlah yang harus melakukan pemeriksaan itu.

Sebaiknya korban kejahatan seksual dianggap sebagai orang yang telah mengalami cedera fisik dan/atau mental sehingga sebaiknya pemeriksaan ditangani oleh dokter di klinik. Penundaan pemeriksaan dapat memberikan hasil yang kurang memuaskan.

Undang - Undang

Agar kesaksian seorang dokter pada perkara pidana mencapai sasaran yaitu membantu pengadilan dengan sebaik-baiknya, maka dokter harus mengenal undang-undang yang bersangkutan dengan tindak pidana itu sehingga mengetahui unsur-unsur yang harus dibuktikan secara medik atau yang memerlukan pendapat medik.

KUHP pasal 284
ayat 1
Dihukum dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan untuk :
  1. Seorang pria yang telah kawin, yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW (Burgerly Wetboek) berlaku baginya.
  2. Seorang wanita yang telah kawin, yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya.
  3. Seorang pria yang belum kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin.
  4. Seorang wanita yang belum kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.
ayat 2
Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan untuk bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.

ayat 3
Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.

ayat 4
Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.

ayat 5
Jika bagi suami-istri itu berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.

BW pasal 27
Dalam waktu yang sama seorang pria hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya, seorang perempuan hanya satu orang pria sebagai suaminya.

KUHP pasal 285
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Pada tindak pidana di atas perlu dibuktikan telah terjadi persetubuhan dan telah terjadi paksaan dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan. Dokter dapat menentukan apakah persetubuhan telah terjadi atau tidak, dan apakah terdapat tanda-tanda kekerasan. Tetapi dokter tidak dapat menentukan apakah terdapat unsur paksaan pada tindak pidana ini.

Ditemukannya tanda kekerasan pada tubuh korban tidak selalu merupakan akibat paksaan, mungkin juga disebabkan oleh hal-hal lain yang tak ada hubungannya dengan paksaan. Demikian pula jika dokter tidak menemukan tanda kekerasan, maka hal itu belum merupakan bukti bahwa paksaan tidak terjadi. Pada hakekatnya dokter tidak dapat menetukan unsur paksaan yang terdapat pada tindak pidana perkosaan sehingga dokter juga tidak mungkin menentukan apakah perkosaan telah terjadi. Yang berwenang untuk menentukan hal tersebut adalah hakim karena perkosaan adalah pengertian hukum bukan istilah medis sehingga dokter jangan menggunakan istilah perkosaan dalam Visum et Repertum.

Dalam bagian kesimpulan Visum et Repertum hanya dituliskan
  1. Ada tidaknya tanda persetubuhan
  2. Ada tidaknya tanda kekerasan serta jenis kekerasan yang menyebabkannya.
KUHP pasal 286
Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan padahal diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pada tindak pidana di atas harus terbukti bahwa perempuan berada dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya ketikan terjadi persetubuhan. Dokter harus mencatat dalam anamnesa apakah korban sadar ketika terjadi persetubuhan, adakah penyakit yang diderita korban yang sewaktu-waktu dapat mengakibatkan korban pingsan atau tak berdaya misalnya epilepsi, katalepsi, syncope, dan lainnya. Jika korban mengatakan ia pingsan maka perlu diketahui bagaimana terjadinya keadaan pingsan itu, apakah terjadi setelah korban diberi makanan atau minuman.

Pada pemeriksaan perlu diperhatikan apakah korban menunjukkan tanda-tanda bekas hilang kesadaran atau tanda-tanda telah berada di bawah pengaruh alkohol, hipnotik atau narkotik. Apabila ada petunjuk bahwa alkohol, hipnotik atau narkotik telah dipergunakan maka dokter perlu mengambil urin dan darah untuk pemeriksaan toksikologik.

Jika terbukti bahwa si terdakwa telah sengaja membuat wanita itu pingsan atau tak berdaya, ia dapat dituntut telah melakukan tindak pidana perkosaan karena dengan membuat wanita itu pingsan atau tidak berdaya ia telah melakukan kekerasan.

KUHP pasal 89
Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.

KUHP pasal 287
ayat 1
Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

ayat 2
Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan kecuali jika umur wanita itu belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan pasal 294.

Tindak pidana ini merupakan persetubuhan dengan wanita yang menurut undang-undang belum cukup umur. Jika umur korban belum cukup 15 tahuntetapi sudah di atas 12 tahun, penuntutan baru dilakukan bila ada pengaduan dari yang bersangkutan. Jadi dengan keadaan itu persetubuhan tersebut merupakan delik aduan, bila tidak ada pengaduan maka tidak ada penuntutan.

Tetapi keadaan berbeda jika :
  1. Umur korban belum cukup 12 tahun, atau
  2. Korban yang belum cukup 15 tahun itu menderita luka berat atau mati akibat perbuatan itu (KUHP pasal 291), atau
  3. Korban yang belum cukup 15 tahun itu adalah anaknya, anak tirinya, muridnya, anak yang berada di bawah pengawasannya, bujangnya atau bawahannya (pasal 294).
Dalam keadaan diatas, penuntutan dapat dilakukan walaupun tidak ada pengaduan karena bukan lagi merupakan delik aduan.

Pada pemerikasaan akan diketahui umur korban. Jika tidak ada akte kelahiran maka umur korban yang pasti tidak diketahui. Dokter perlu menyimpulkan apakah wajah dan bentuk badan korban sesuai dengan umur yang dikatakannya.

Keadaan perkembangan payudara dan pertumbuhan rambut kemaluan perlu dikemukakan. Ditentukan apakah gigi geraham belakang ke-2 (molar ke-2) sudah tumbuh (terjadi pada umur kira-kira 12 tahun), sedangkan molar ke-3 akan muncul pada usia 17-21 tahun atau lebih. Juga harus ditanyakan apakah korban sudah pernah mendapat haid bila umur korban tidak diketahui.

Jika korban  menyatakan belum pernah haid, maka penentuan ada/tidaknya ovulasi masih diperlukan. Muller menganjurkan agar dilakukan observasi selama 8 minggu di rumah sakit untuk menentukan adakah selama itu ia mendapat haid. Kini untuk menentukan apakah seorang wanita sudah pernah mengalami ovulasi atau belum, dapat dilakukan pemeriksaan 'vaginal smear'.

Hal di atas perlu diperhatikan mengingat bunyi kalimat : padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduga bahwa wanita itu umurnya belum lima belas tahun dan kalau umurnya tidak jelas bahwa belum waktunya untuk dikawin. Perempuan yang belum pernah haid dianggap sebgai belum patut dikawin.

KUHP pasal 291
ayat 1
Kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 286, 287, 288, dan 290 itu berakibat luka berat, dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya 12 tahun.

ayat 2
Kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 285, 286, 287, 289, dan 290 itu berakibat matinya orang, dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun.

KUHP pasal 294
Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya atau anak piaraannya, anak yang dibawah pengawasannya, orang dibawah umur yang diserahkan kepadanya untuk dipelihara, dididiknya atau dijaganya, atau bujangnya atau orang yang dibawah umur, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 7 tahun.

Dengan itu dihukum juga :
  1.  Pegawai negeri yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dibawahnya/orang yang dipercayakan/diserahkan kepadanya untuk dijaga.
  2. Pengurus, dokter, guru, pejabat, pengurus atau bujang di penjara, ditempat bekerja kepunyaan negeri, tempat pendidikan, rumah piatu, Rumah sakit jiwa atau lembaga semua yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan disitu.

0 comments to “Pemeriksaan Medis Kasus Kejahatan Seksual (1)”