Sebenarnya ingin curhat tapi ahh... Tak perlu dan tak mau merepotkan orang lain. Lagipula sudah terbiasa jadi "tong sampah yang solutif" dan aku pun belum menemukan orang yang seperti itu untuk diriku sendiri. Biasanya suamikulah tempatku bersandar dan berdiskusi, namun kali ini aku butuh seseorang yang netral.

Awalnya pula ingin curhat disini, terserah tanggapan pembaca, yang penting puas tuntas. Kemudian setelah mengetik terpikirkan kembali, apa pentingnya dunia mengetahui urusanku sedangkan solusi saja tak akan aku dapatkan malah masalah baru dan menjadi tertawaan para musuh. Apa yang seperti itu aku harapkan ? Tentu tidak, aku yang sekarang harus berbeda dengan diriku dulu yang bangga mendapat perhatian dan belas kasihan orang lain yang tak mengerti posisiku sesungguhnya. Itu dulu, jaman diriku masih euforia dengan sosial media yang bertepatan dengan belum stabilnya pemikiranku. Sekarang ini sudah sadar hal seperti itu tak berguna, malah makin merusak jiwa.
Kini ada suatu kewajiban bahwa yang kutulis haruslah sesuatu yang bermanfaat, meskipun sedikit.

Nah, sekarang aku malah bingung mau menulis apa dan hal apa yang harus kubagi. Otak lagi kusut dan hati tak tenang seperti ini bagaimana bisa memberikan sesuatu yang bermanfaat hmmm... Mari menelaah sedikit benang-benang kusut dikepalaku seiring dengan bertambah panjangnya tulisan yang kutulis namun entah apa ada nilainya ini.

Sepertinya akan kubahas suatu hal yang masih berkaitan dengan tulisan sebelumnya, susahnya menjadi baik. Sebenarnya yang lebih tepat itu adalah susahnya mempertahankan komitmen. Padahal suatu komitmen itu dibentuk dan tercapai untuk diwujudkan dengan perjuangan panjang dan menghabiskan banyak hal. Namun ketika sudah terwujud, setelah melewati masa senang dan bangga bisa meraihnya, tibalah sekarang saatnya mempertahankan. Hilang masa senang, timbul rasa bosan. Karena setiap komitmen memiliki konsekuensi. Dan setiap konsekuensi mempunyai resiko yang mengakibatkan perjuangan tahap selanjutnya dimulai.

Saat inilah semua idealisme dipertaruhkan dan dihadapkan kepada fakta. Dulu, saat membentuk komitmen, pemikiran yang terjangkau hanyalah sejauh pembentukan dan usaha mewujudkannya. Ada hal-hal tak terduga dan tak menyenangkan yang memang terpikirkan namun dulu masih menyebutnya sebagai suatu resiko dan itu dipikirkan bila terjadi. BILA.. Duh, padahal sekarang terjadi dan menjadi konsekuensi berjangka panjang. Maklumlah masih muda, pengalaman belum ada tapi keras kepala menerima tantangan dan sibuk membuktikan diri sebagai pejuang pemberani. Dan inilah yang harus dibuktikan seorang pemberani, menjalani setiap konsekuensi dan tak boleh undur diri selangkah pun.

Mempertahankan komitmen dan menjalani konsekuensi ternyata membutuhkan suatu kerjasama. Kerjasama yang utama adalah antara kesadaran diri dan kemampuan menelaah fakta di luar diri. Ketika kerjasama ini susah diwujudkan, akhirnya timbul rasa bosan dan putus asa. Kesenangan akan berhasilnya perjuangan meraih keberhasilan mulai memudar. Bila tak kuat iman, timbul penyesalan. Biasanya setelah menyesal, setan akan menghasut untuk menyalahkan hal yang tak berkaitan, umumnya berwujud orang lain. Setelah itu akan terpiculah pertengkaran karena menuruti hasutan setan. Terlalu sering bertengkar dan masih menuruti hasutan setan, timbul perpecahan. Akibatnya, kekalahan.

Naahhh.. Aku tak mau berakhir dengan kekalahan seperti itu. Terlalu memalukan. Maka, saat seperti ini dibutuhkan hal lain yang bersifat netral dan membantu. Biasanya, iman itulah yang menjadi pegangan. Namun, diri ini masih manusia yang imannya turun naik. Bila sedang naik, tak akan ada keluhan, namun bila sedang turun akan mencari pelarian. Bila pelariannya bagus, masalah mungkin bisa selesai atau mendapat waktu dan pemikiran baru yang segar untuk mencari jalan keluar. Tapi bila pelariannya salah, hancur sudah.

Pelarian yang kuanggap benar ya seperti ini, menulis. Bila keinginan curhat terlalu menggebu, maka aku akan menulis di atas kertas kemudian kubaca lalu kusobek atau kubakar. Namun bila masih mengendalikan diri, aku akan menulis seperti ini. Karena dengan menulis akan mendorongku untuk merenung yang ternyata bisa meningkatkan keimanan karena berusaha mencari hikmah dan bersyukur. Dan menulis disini memaksa diriku untuk memberikan manfaat sama seperti aku curhat dengan diriku yang berusaha memberikan suatu solusi ketika orang lain mencurahkan keluhannya padaku. Biasanya setelah lelah menulis dan merenung, aku akan tertidur dan ketika bangun akan terasa kesegaran dan siap bangkit kembali.

Aku pernah menawarkan cara ini pada teman-temanku namun ternyata setiap orang punya caranya sendiri. Aku pun tak mau memaksakan karena mereka bukanlah diriku dan aku pun bukanlah mereka. Akhir kata, aku sekarang telah selesai menulis dan ingin diteruskan dengan merenung lalu tidur. Semoga tulisan ini bermanfaat :)
Sent from my AXIS Worry Free BlackBerry® smartphone

Category: | 0 Comments

0 comments to “Nglantur”