Seharusnya malam ini dilewati dengan belajar dan tidur, bukan dengan menonton film di bioskop. Apalagi ditambah dengan kondisi sehabis jaga malam dan besok harus jaga malam kembali. Kemudian, ditambah hutang tugas presentasi dan setumpuk bahan yang harus dipelajari untuk bimbingan besok. Bagaimanapun kondisi yang saya hadapi kini, keegoisanlah yang menjadi pemenang hati saat ini. Saya biarkan diri ini melepaskan pengendaliannya sedikit untuk menenangkan dan menyeimbangkan kejiwaan saya. Maka, malam ini saya habiskan dengan menonton film di bioskop.
Ternyata tak ada yang sia-sia, saat ini. Saya sangat puas dan tak menyesal dengan pilihan tindakan yang saya ambil malam ini. Film tontonan pilihan saya malam ini memang bagus dan masuk menjadi film favorit pribadi : Sherlock Holmes.
Jujur, novel tentang detektif terkenal yang satu ini hanya satu kali saya baca dan saya pun tak pernah tertarik untuk membacanya kembali. Saat pertama membacanya, saya merasa bosan. Mungkin karena saya terlalu lama terpaku kepada novel detektif terkenal yang lain, Hercule Poirot. Dan, apa yang tersaji dalam film kali ini sangatlah berbeda dengan cerita di novel. Saya pun akan lebih memilih menonton filmnya kembali dibandingkan mencoba kembali untuk membaca novelnya.
Poin penting dari film ini adalah, saya menjadi tersadar mengapa saya dipilih Alloh untuk masuk kedokteran dan menjadi dokter. Dulu, saya menolak menjadi dokter karena berpikir bahwa seorang dokter harus teliti dan tekun sehingga sangat kontras dengan diri saya yang ceroboh dan pemalas. Namun film ini membuat pikiran saya terbuka dan menemukan tanda bahwa bukan sifat itu saja yang harus ada pada seorang dokter. Dasar seorang dokter adalah pengamat, peneliti, dan ilmuwan. Dan saya, memiliki ketiganya meskipun baru satu saja yang benar-benar nyata saya akui kehandalannya dalam diri saya.
Saya memang hobi mengamati dan menghubungkan pikiran saya dengan logika lalu menarik kesimpulan. Dan dalam film ini pula saya temukan bahwa sesungguhnya seorang dokter pun bekerja seperti seorang detektif. Hal lainnya, dokter tidak harus menjadi dokter, namun ilmu kedokteran yang sudah dimiliki pasti akan selalu berguna untuk pribadi maupun orang-orang sekitarnya.
Pikiran lain yang terbuka saat ini, memicu pemikiran lain tentang dokter yang saya dapatkan dari salah satu film Jackie Chan, yang saya lupa judulnya, tentang Dr. Sun Yat Sen. Dalam film itu, meski saya tak suka dengan ideologi komunisnya, ditampilkan seorang dokter sebagai perancang revolusi sejarah dan motor pemberontakan. Kembali saya temukan dalam diri ini bahwa saya seorang radikalis dalam artian saya tipe pemikir yang sering berlawanan dengan mayoritas pemikiran orang.
Mungkin semua pemaparan ini terlihat konyol tapi bagi saya ini merupakan titik penting penerimaan diri dan prinsip. Mind-set dokter merupakan obsesi mama harus bergeser sedikit demi sedikit menjadi dokter adalah takdir yang harus saya jalani. Dan ini berarti, satu kemenangan dari keegoisan tinggi dalam diri saya tercapai. Alhamdulillah.
Sesungguhnya, ibu yang baik hanyalah memberikan pengarahan yang terbaik kepada anak-anaknya. Namun sebagai manusia, beliau pun pasti memiliki kelemahan dalam mengarahkan anak-anaknya dan bila sang anak tak mampu memahami ibunya akan melihat sang ibu sebagai manusia yang jahat. Alloh menugaskan seorang anak untuk berbakti dan tidak membantah kedua orang tuanya selama mereka berada dalam jalan yang benar. Maka, seorang anak seharusnya mau belajar memahami kedua orang tuanya untuk dapat mengerti bahwa kedua orang tuanya merupakan "nabi" baginya.
Mama, semoga semua doa dan air matamu di sana demi diriku bisa menjadikanku orang tua yang lebih hebat dari kalian. Amiin. In the name of Alloh, I love you, mam.
Sent from my BlackBerry®
0 comments to “Inilah Jalanku”
Posting Komentar